Rabu, 30 Oktober 2019

Masa Kerajaan Hindu Buddha di Indonesia

Mantan KA UPTD
Candi Borobudur yang menjadi salah satu kebanggaan negara kita saat ini masih berdiri megah dan digunakan untuk pariwisata ataupun upacara umat Buddha. Wisatawan dalam dan luar negeri mengunjungi Candi Borobudur.Candi Borobudur merupakan salah satu peninggalan masyarakat Indonesia pada masa Kerajaan Hindu Buddha. Selain Borobudur, kita juga menemukan candi-candi lain di Indonesia. Candi Prambanan ditemukan di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah sebagai peninggalan agama Hindu. Agama Hindu dan Buddha inilah yang berpengaruh besar di Indonesia setelah Masa Praaksara. Pengaruh Hindu Buddha di Indonesia masih kita rasakan hingga saat ini. Keduanya memengaruhi, baik kehidupan agama, sosial, ekonomi, politik, maupun ekonomi masyarakat Indonesia.

A. Perkembangan Hindu Buddha di Indonesia

1. Perkembangan Agama Hindu Buddha di India

a. Sejarah Perkembangan Agama Hindu
Sejak ribuan tahun Sebelum Masehi, di Lembah Sungai Indus India telah berkembang kebudayaan besar. Pusat kebudayaan di daerah tersebut adalah dua kota kuno, yaitu Mohenjodaro dan Harappa. Pengembang dua pusat kebudayaannya adalah Bangsa Dravida. Sekitar 1500 SM, Bangsa Arya datang dari Asia Tengah ke Lembah Sungai Indus.

Bangsa Arya datang ke India dengan membawa pengaruh tulisan, bahasa, teknologi, dan juga kepercayaan. Kepercayaan Bangsa Arya yang dibawa adalah Veda (Weda). Pada perkembangannya, setelah sampai di India, Veda mengalami percampuran kepercayaan antara Bangsa Arya dengan Bangsa Dravida sehingga melahirkan agama Hindu.
Agama Hindu bersifat politeisme, yaitu percaya pada beberapa dewa. Tiga dewa utama yang dipuja adalah Dewa Brahmana (dewa pencipta), Dewa Wisnu (dewa pelindung), dan Dewa Syiwa (dewa pembinasa). Ketiga dewa itu dikenal dengan sebutan Trimurti.

Kitab suci agama Hindu adalah Weda. Kitab Weda ini terdiri dari empat bagian, yaitu:
  1. Reg-Weda, berisi puji-pujian terhadap dewa;
  2. Sama-Weda, berisi nyanyian-nyanyian suci;
  3. Yajur-Weda, berisi mantra-mantra;
  4. Atharwa-Weda, berisi doa-doa untuk pengobatan.
Di samping kitab Weda, ada juga kitab Brahmana dan Upanisad. Masyarakat Hindu terbagi dalam empat golongan yang disebut kasta. Kasta-kasta tersebut, antara lain sebagai berikut.

1) Kasta Brahmana
Kasta Brahmana merupakan kasta tertinggi. Tugas kaum Brahmana adalah menjalankan upacara-upacara keagamaan.

2) Kasta Kesatria
Kasta Kesatria merupakan kasta yang bertugas menjalankan pemerintahan. Raja, bangsawan, dan prajurit masuk dalam golongan ini.

3) Kasta Waisya
Kasta Waisya merupakan kasta dari rakyat biasa, yaitu para petani dan pedagang.

4) Kasta Sudra
Kasta Sudra adalah kasta dari golongan hamba sahaya atau para budak.

Di luar kasta tersebut masih ada golongan masyarakat yang tidak termasuk dalam kasta, yaitu mereka yang masuk dalam kelompok Paria. Golongan Paria merupakan kelompok yang tidak diterima dalam kasta masyarakat Hindu.

b. Sejarah Perkembangan Buddha
Buddha muncul sekitar tahun 500 SM. Pada masa tersebut, di India telah berkembang kerajaan-kerajaan Hindu yang sangat besar, di antaranya adalah Dinasti Maurya. Dinasti ini mempunyai raja yang sangat terkenal, yaitu Raja Ashoka. Kemunculan agama Buddha tidak dapat dilepaskan dari tokoh Sidharta Gautama. Ia adalah putra raja Suddhodana dari Kerajaan Kapilawastu. Ajaran Buddha memang diajarkan oleh Sidharta Gautama sehingga ia lebih dikenal dengan Buddha Gautama.

Kitab suci agama Buddha adalah Tripitaka, yang artinya tiga keranjang. Kitab ini terdiri atas:
  1. Vinaya Pitaka yang berisi aturan-aturan hidup;
  2. Sutta Pitaka yang berisi pokok-pokok atau dasar memberi pelajaran;
  3. Abhidharma Pitaka yang berisi falsafah agama.
Setiap penganut Buddha dituntut untuk menjalankan Tridarma (tiga kebaktian) berikut ini.
  1. Saya berlindung terhadap Buddha.
  2. Saya berlindung terhadap Dharma.
  3. Saya berlindung terhadap Sanggha.
Umat Buddha mempunyai empat tempat utama yang dianggap suci. Tempat-tempat suci tersebut memiliki hubungan dengan Sidharta. Keempat tempat tersebut, antara lain sebagai berikut.
  1. Taman Lumbini, yaitu tempat kelahiran Sidharta. Taman Lumbini terletak di daerah Kapilawastu.
  2. Bodh Gaya, yaitu tempat Shidarta menerima penerangan agung.
  3. Benares, yaitu tempat Sidharta pertama kali menyampaikan ajarannya.
  4. Kusinegara, yaitu tempat wafatnya Sidharta.
Hari raya umat Buddha adalah Waisyak. Hari raya ini dimeriahkan untuk memperingati peristiwa kelahiran, menerima penerangan agung, dan kematian Sidharta yang terjadi pada tanggal yang bersamaan, yaitu waktu bulan purnama di bulan Mei.

2. Persebaran Pengaruh Agama Hindu Buddha ke Indonesia
Masuknya agama Hindu Buddha ke Indonesia secara pasti belum diketahui. Tetapi pada tahun 400 M dipastikan agama Hindu Buddha telah berkembang di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan penemuan prasasti pada Yupa di Kalimantan Timur. Prasasti tersebut menunjukkan bahwa Kerajaan Kutai telah berkembang di Kalimantan Timur. Adanya kerajaan pada tahun 400 M berarti agama Hindu Buddha masuk ke Indonesia sebelum tahun tersebut.

Siapa yang membawa kedua agama tersebut ke Indonesia? Terdapat beberapa pendapat atau teori tentang pembawa agama Hindu Buddha ke Indonesia. Teori-teori itu adalah sebagai berikut.

a. Teori Brahmana
Teori Brahmana menyatakan bahwa pengaruh Hindu ke Indonesia dibawa oleh kaum Brahmana. Teori ini didukung oleh J.C. Van Leur dan F.D.K. Bosch. Alasannya adalah para brahmanalah kasta yang paling memahami ajaran Hindu.

b. Teori Kesatria
Teori Kesatria menyatakan bahwa pengaruh Hindu ke Indonesia dibawa oleh kaum kesatria. Di Indonesia, mereka mendirikan kerajaan-kerajaan dan menyebarkan agama Hindu. Teori kesatria didukung oleh J.I. Moens.

c. Teori Waisya
Teori Waisya menyatakan bahwa pengaruh Hindu ke Indonesia dibawa oleh kaum Waisya. Para penyebar pengaruh Hindu itu terdiri dari para pedagang dari India.

d. Teori Arus Balik
Teori Arus Balik menyatakan bahwa penyebar pengaruh Hindu ke Indonesia adalah orang-orang Indonesia sendiri. Mereka mula-mula diundang atau datang sendiri ke India untuk belajar Hindu. Setelah menguasai ilmu tentang agama Hindu, mereka kembali ke Indonesia dan menyebarkan pengaruh Hindu di Indonesia.
Keempat teori tentang penyebaran agama Hindu ke Indonesia tersebut masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. Kaum Kesatria dan Waisya tidak memiliki kemampuan menguasai Kitab Suci Weda. Sementara kaum Brahmana tidak dibebani untuk menyebarkan agama Hindu walaupun mereka dapat membaca kitab suci Weda. Kaum Brahmana pun memiliki pantangan menyeberangi laut. Yang paling mungkin adalah orang-orang Indonesia datang belajar ke India untuk mempelajari agama Hindu, kemudian merekalah yang menyebarkan agama tersebut ke Indonesia. Penyebaran ini menjadi lebih efektif karena orang-orang Indonesia jauh lebih memahami kondisi sosial, adat, dan budaya negerinya sendiri.

B. Kerajaan Bercorak Hindu Buddha di Indonesia
Perkembangan berbagai Kerajaan Hindu Buddha di Indonesia menunjukkan kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Indonesia pada masa tersebut. Berikut ini akan kita pelajari beberapa Kerajaan Hindu Buddha di Indonesia.

1. Kerajaan Kutai

a. Letak Kerajaan Kutai
Kutai merupakan Kerajaan Hindu paling tua di Indonesia yang berdiri pada tahun 400 M, terletak di daerah Muarakaman tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Sungai Mahakam sangat besar sehingga dapat dilayari dari pantai hingga masuk ke Muarakaman. Keberadaan Sungai Mahakam ini sangat mendukung kegiatan perdagangan. Sungai Mahakam masih ramai oleh lalu lintas air sejak masa praaksara hingga saat ini.

b. Bukti Sejarah Kerajaan Kutai
Sumber sejarah Kerajaan Kutai adalah prasasti berbentuk yupa yang ditemukan di daerah Muarakaman. Prasasti itu disebut yupa. Yupa adalah tugu batu peringatan upacara korban sedekah. Di daerah Muarakaman, ditemukan tujuh yupa. Tahukah kalian apa keistimewaan yupa yang ditemukan di Kalimantan Timur tersebut? Selain digunakan untuk menambatkan hewan kurban, pada salah satu yupa ditemukan prasasti.

Huruf yang digunakan dalam prasasti yupa adalah huruf Pallawa dengan bahasa Sanskerta. Berdasarkan bentuk hurufnya, para ahli yakin bahwa yupa dibuat sekitar abad ke-5 M. Ada beberapa informasi yang dapat diperoleh dari prasasti yupa tersebut. Salah satunya adalah prasasti tersebut menyebutkan silsilah raja-raja Kutai.

Prasasti yupa menuturkan bahwa Kudungga merupakan raja pertama Kerajaan Kutai. Ia mempunyai putra bernama Aswawarman. Aswawarman mempunyai tiga anak dan yang terkenal adalah Mulawarman. Nama Aswawarman dan Mulawarman berasal dari bahasa Sanskerta. Di sini tampak adanya penyerapan budaya India oleh Kerajaan Kutai. Sementara nama Kudungga bukan nama Hindu, melainkan nama asli Indonesia.

Prasasti Yupa juga menyebutkan bahwa Yupa didirikan atas perintah Raja Mulawarman. Kudungga bukan pendiri kerajaan, melainkan anaknya yang bernama Aswawarman. Hal itu disebut dalam Wamsakerta atau pendiri keluarga. Diperkirakan Aswawarman lah yang sudah menganut Hindu secara penuh, sedangkan Kudungga belum.

c. Pemerintahan dan Kehidupan Masyarakat
Raja Mulawarman sebagai raja terbesar di Kutai memeluk agama Hindu-Siwa. Ia sangat dekat dengan kaum Brahmana dan rakyat. Hal ini dibuktikan dengan pemberian sedekah untuk upacara keagamaan. Besarnya sedekah yang diberikan oleh Mulawarman tercantum dalam yupa sebesar 1.000 ekor sapi. Upacara korban sapi ini menunjukkan bahwa rakyat hidup cukup makmur. Kehidupan keagamaan juga dijaga dengan baik. Selain itu, rakyat sangat mencintai rajanya. Kehidupan ekonomi masyarakat diperkirakan mayoritas bertani dan berdagang.

Masyarakat Kutai sebelumnya tidak mengenal kasta. Setelah agama Hindu masuk, mulailah pengaruh kasta terasa dalam lapisan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan upacara Vratyastoma oleh Kudungga. Vratyastoma merupakan upacara penyucian diri untuk masuk pada kasta kesatria sesuai kedudukannya sebagai keluarga raja.

Kelanjutan Kerajaan Kutai setelah Mulawarman tidak menunjukkan tanda-tanda yang jelas. Pada periode setelah abad V M, Kerajaan Hindu Buddha berkembang di berbagai daerah lain Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa pada fase selanjutnya agama Hindu Buddha berkembang pesat di berbagai daerah Indonesia.

2. Kerajaan Tarumanegara

Berdirinya kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat hampir bersamaan dengan Kerajaan Kutai. Kata Taruma berhubungan dengan katak tarum berarti nilai atau biru. Sampai sekarang nama taruma masih digunakan sebagai nama ganti sungai, yaitu sungai Citarum (ci = sungai).

Kerajaan Tarumanegara atau Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah pulau Jawa bagian barat pada abad ke-4 hingga abad ke-7 m, yang merupakan salah satu kerajaan tertua di nusantara yang diketahui. Dalam catatan, kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan hindu beraliran wisnu. Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (352-395).

Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga. Maharaja Purnawarman adalah raja Kerajaan Tarumanegara yang ketiga (395-434 m). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Kota itu diberi nama Sundapura pertama kalinya nama Sunda digunakan. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana.

Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten.

Prasasti Pasir Muara menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Kerajaan Tarumanegara adalah Suryawarman (535 - 561 M) raja Kerajaan Tarumanegara ke-7. Dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Kerajaan Tarumanegara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.

Prasasti ditemukan di Pasir Muara, Bogor, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :
ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda
Terjemahannya menurut Bosch:
Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda.

Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.

Kehadiran prasasti Purnawarman di pasir muara, yang memberitakan raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Kerajaan Tarumanegara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (Kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanegara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Kerajaan Tarumanegara adalah menantu raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang maharesi dari salankayana di India yang mengungsi ke nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.

Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi panglima angkatan perang Kerajaan Tarumanegara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam Tahun 612 M.

Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669 M, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa. Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.

Raja-raja Tarumanegara:
  1. Jayasingawarman 358-382 M
  2. Dharmayawarman 382-395 M
  3. Purnawarman 395-434 M
  4. Wisnuwarman 434-455 M
  5. Indrawarman 455-515 M
  6. Candrawarman 515-535 M
  7. Suryawarman 535-561 M
  8. Kertawarman 561-628 M
  9. Sudhawarman 628-639 M
  10. Hariwangsawarman 639-640 M
  11. Nagajayawarman 640-666 M
  12. Linggawarman 666-669 M
a. Sumber Sejarah Tarumanegara
Apa saja bukti keberadaan Kerajaan Tarumanegara? Ada tujuh prasasti yang ditemukan, sebagian besar merupakan peninggalan Raja Purnawarman. Prasasti-prasasti itu umumnya bertulis huruf Pallawa dan menggunakan bahasa Sanskerta. Ketujuh prasasti tersebut, antara lain sebagai berikut.

1) Prasasti Ciaruteun
Di dekat muara tepi Sungai Ciaruteun ditemukan prasasti yang dipahat pada batu. Pada prasasti tersebut terdapat gambar sepasang telapak kaki Raja Purnawarman. Telapak kaki Raja Purnawarman dalam prasasti tersebut diibaratkan sebagai telapak kaki Dewa Wisnu.

Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam

Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.

Di samping itu terdapat lukisan semacam laba-laba serta sepasang telapak kaki Raja Purnawarman. Gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu:
  1. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut).
  2. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya penguasa) sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.
Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir Muhara.

2) Prasasti Kebon Kopi
Prasasti Kebon Kopi terdapat di Kampung Muara Hilir, Kecamatan Cibung-bulang, Bogor. Pada prasasti ini ada pahatan gambar tapak kaki gajah yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata (gajah kendaraan Dewa Wisnu).

3) Prasasti Jambu
Di sebuah perkebunan jambu, Bukit Koleangkok, kira-kira 30 km sebelah barat Bogor ditemukan pula prasasti. Dinamakan Prasasti Jambu karena ditemukan di perkebunan Jambu. Prasasti ini menggambarkan bagaimana kebesaran Raja Purnawarman. Raja Purnawarman digambarkan sebagai seorang raja yang gagah, pemimpin termasyhur, dan baju zirahnya tidak dapat ditembus senjata musuh.

Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:
shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.

Terjemahannya menurut Vogel:

Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.

4) Prasasti Tugu
Prasasti Tugu ditemukan di Desa Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. Isinya, antara lain menerangkan tentang penggalian saluran Gomati dan Sungai Candrabhaga. Panjang saluran adalah 12 km dan dikerjakan dalam waktu 12 hari. Setelah pembuatan saluran selesai, diadakan selamatan dengan menyerahkan 1.000 ekor sapi kepada para brahmana.

Prasasti ini sangat penting artinya karena menunjukkan keseriusan Kerajaan Tarumanegara dalam mengembangkan pertanian. Penggalian Sungai Gomati menggambarkan bahwa teknologi pertanian dikembangkan sangat maju. Kerajaan Tarumanegara telah mengenal sistem irigasi. Selain itu, juga menunjukkan bahwa keberadaan sungai dapat digunakan untuk transportasi air dan perikanan. 

Prasasti Tugu memiliki keunikan yakni terdapat pahatan hiasan tongkat yag pada ujungnya dilengkapi semacam trisula. Gambar tongkat tersebut dipahatkan tegak memanjang ke bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat-kalimat pada prasastinya.
Teks:
pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayau//
pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana //
prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih
ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka //
pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina //

Terjemahan:

“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memilki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) beliau pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”

Hal-hal yang dapat diketahui dari prasasti Tugu adalah:
  1. Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Punjab yaitu sungai Chandrabaga dan Gomati. Dengan adanya keterangan dua buah sungai tersebut menimbulkan tafsiran dari para sarjana salah satunya menurut Poerbatjaraka. Sehingga secara Etimologi (ilmu yang mempelajari tentang istilah) sungai Chandrabaga diartikan sebagai kali Bekasi.
  2. Prasasti Tugu juga menyebutkan anasir penanggalan walaupun tidak lengkap dengan angka tahunnya yang disebutkan adalah bulan phalguna dan caitra yang diduga sama dengan bulan Februari dan April.
  3. Prasasti Tugu yang menyebutkan dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai dengan seribu ekor sapi yang dihadiahkan raja.
5) Prasasti Muara Cianten
Prasasti Muara Cianten ditemukan di daerah Bogor. Hingga kini, prasasti ini belum dapat dibaca.

6) Prasasti Pasir Awi
Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah Bogor. Hingga kini, prasasti ini belum dapat dibaca.

7) Prasasti Lebak
Prasasti Lebak ditemukan di tepi Sungai Cidanghiang, Kecamatan Muncul, Banten Selatan. Isi Prasasti Lebak hampir sama dengan Prasasti Tugu. Prasasti Lebak juga menerangkan keperwiraan, keagungan, dan keberanian. Di samping itu, Purnawarman sebagai raja dunia.
Sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara juga diperoleh dari seorang musafir Cina bernama Fa-Hien. Pada 414 M, dalam perjalanan pulang dari India ia sempat singgah ke Pulau Jawa. Ia mengatakan adanya Kerajaan To-lo-mo atau Taruma. Istilah To-lo-mo ini maksudnya tentu saja Kerajaan Tarumanegara.

3. Kerajaan Kaling
Pada abad ke-6 Masehi, di daerah Jawa Tengah berdiri sebuah Kerajaan Hindu. Tahukah kalian bagaimana sejarah Kerajaan Kaling? Bila belum tahu, mari kita pelajari bersama-sama.

a. Letak Kerajaan Kaling
Kerajaan Kaling atau Holing diperkirakan terletak di Jawa Tengah. Hal ini didasarkan pada berita Cina yang menyebutkan bahwa di sebelah timur Kaling ada Po-li (Bali sekarang dan di sebelah barat Kaling terdapat To-po-Teng (Sumatra). Sementara di sebelah utara Kaling terdapat Chen-la (Kamboja) dan sebelah selatan berbatasan dengan samudra.

Ada juga yang menyebutkan letak Kaling berada di Kabupaten Jepara. Hal ini dihubungkan dengan adanya sebuah nama tempat di wilayah Jepara, yaitu Keling. Saat ini, Keling merupakan nama sebuah kecamatan di sebelah utara Gunung Muria, Jepara, Jawa Tengah. Meskipun demikian, secara tegas belum disimpulkan bahwa Keling mempunyai hubungan dengan Kerajaan Kaling.
b. Sumber Sejarah Kaling
Sumber utama mengenai Kerajaan Kaling adalah berita Cina, yaitu berita dari Dinasti Tang. Berita inilah yang menggambarkan bagaimana pemerintahan Ratu Sima di Kaling. Sumber sejarah lainnya adalah Prasasti Tuk Mas yang ditemukan di lereng Gunung Merbabu. Melalui berita Cina dan Prasasti Tuk Mas tersebut, banyak hal dapat kita ketahui tentang perkembangan Kerajaan Kaling dan kehidupan masyarakatnya.

c. Pemerintahan dan Kehidupan Masyarakat
Menurut berita Cina, raja Kerajaan Kaling yang terkenal adalah Ratu Sima. Ia memerintah sekitar tahun 674 M. Ratu Sima digambarkan sebagai raja yang jujur dan sangat bijaksana. Hukum dilaksanakan dengan tegas dan seadil-adilnya. Rakyat patuh terhadap semua ketentuan yang berlaku. Disebutkan pula kehidupan pada masa pemerintahan Ratu Sima sangat aman dan tenteram. Kejahatan sangat minim karena kerajaan menerapkan hukum tanpa pandang bulu.

Di Kerajaan Kaling, agama Buddha berkembang pesat. Pendeta Cina bernama Hwi-ning bahkan pernah datang ke Kaling dan tinggal selama tiga tahun. Ia menerjemahkan kitab suci agama Buddha Hinayana ke dalam bahasa Cina. Dalam menyelesaikan tugasnya, Hwining dibantu oleh seorang pendeta Kaling bernama Janabhadra. Mata pencaharian masyarakat Kaling rata-rata adalah bertani dan berdagang. Kehidupan mereka sangat makmur, mengingat Jawa Tengah merupakan pusat hamparan tanah subur. Hal ini dapat dilihat dari beberapa gunung berapi di Jawa Tengah yang menyebabkan tanah pertanian dan perkebunan menjadi subur. Perkembangan Kerajaan Kaling selanjutnya kurang jelas. Belum ditemukan sumber sejarah yang secara tegas meriwayatkan perjalanan Kerajaan Kaling hingga keruntuhannya. Namun pada periode selanjutnya, kita akan menemukan beberapa Kerajaan Hindu Buddha lainnya di Jawa Tengah.

4. Kerajaan Mataram Kuno
Di Jawa Tengah pernah berkembang kerajaan besar pada masa Hindu Buddha. Namanya lebih dikenal dengan Mataram Kuno. Nama Mataram Kuno digunakan untuk menunjuk Kerajaan Mataram pada masa pengaruh Hindu Buddha. Sebab pada perkembangan selanjutnya, muncul Kerajaan Mataram yang juga berlokasi di Jawa Tengah. Namun, kerajaan yang muncul ini merupakan Kerajaan Mataram yang bercorak Islam. Walaupun sama-sama menggunakan nama Mataram, kedua kerajaan tersebut berselisih waktu sangat lama.
a. Letak Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno terletak di daerah Medang Kamulan yang subur. Di sebelah utara terdapat Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro. Di sebelah barat terdapat Pegunungan Serayu; di sebelah timur terdapat Gunung Lawu; di sebelah selatan berdekatan dengan Laut Selatan dan Pegunungan Seribu. Sungai-sungai yang ada, misalnya Sungai Bogowonto, Elo, Progo, Opak, dan Bengawan Solo. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Mataram Kuno terletak di sekitar Pegunungan Merapi dan Merbabu.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno
b. Bukti Sejarah Mataram Kuno
Dapatkah kalian menyebutkan bukti yang menunjukkan sejarah Kerajaan Mataram Kuno? Terdapat beberapa sumber sejarah yang mengungkapkan keberadaan Mataram Kuno, di antaranya prasasti dan berita Cina. Prasasti tersebut, antara lain sebagai berikut.

1) Prasasti Canggal
Prasasti Canggal berangka tahun 732 M, ditulis dengan huruf Palawa dan bahasa Sanskerta. Prasasti ini berisi tentang asal usul Dinasti Sanjaya dan pembangunan sebuah lingga di Bukit Stirangga.

2) Prasasti Kalasan
Prasasti Kalasan berangka tahun 778 M, berhuruf Pranagari dan bahasa Sanskerta. Prasasti ini memberitakan terdesaknya Dinasti Sanjaya ke utara karena kedatangan Dinasti Syailendra.

3) Prasasti Klurak
Prasasti Klurak berangka tahun 782 M dan ditemukan di daerah Prambanan. Isinya tentang pembuatan Arca Manjusri yang terletak di sebelah utara Prambanan.

4) Prasasti Kedu atau Prasasti Balitung
Prasasti Kedu berangka tahun 907 M. Isinya tentang silsilah raja-raja keturunan Sanjaya.

Di samping beberapa prasasti tersebut, sumber sejarah Kerajaan Mataram Kuno juga berasal dari berita Cina.

c. Perjalanan Pemerintahan
Berikut ini beberapa pemerintahan di Kerajaan Mataram Kuno.

1) Pemerintahan Sanjaya
Pada 717–780 M Raja Sanjaya mulai memerintah Kerajaan Mataram. Bukti sejarah yang menunjukkan pemerintahan Raja Sanjaya adalah Prasasti Canggal. Sanjaya disebutkan merupakan keturunan Dinasti Syailendra.

Pada masa pemerintahannya, Raja Sanjaya berhasil menaklukkan beberapa kerajaan kecil yang pada masa pemerintahan Sanna melepaskan diri. Sanjaya juga seorang raja yang memerhatikan perkembangan agama. Hal ini dibuktikan dengan pendirian bangunan suci pada 732 M. Bangunan suci tersebut digunakan sebagai tempat pemujaan, yaitu berupa lingga yang berada di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga), Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Perhatian raja yang besar terhadap keagamaan ini juga menunjukkan bahwa rakyat Mataram merupakan rakyat yang taat beragama. Sebab, sikap baik raja merupakan cermin sikap baik rakyatnya.
Candi Gunung Wukir
2) Pemerintahan Rakai Panangkaran
Sanjaya digantikan putranya Rakai Panangkaran. Pada masa pemerintahan Panangkaran, agama Buddha juga mengalami perkembangan di samping agama Hindu. Hal ini dikarenakan Panangkaran juga memerhatikan perkembangan agama Buddha. Buktinya adalah didirikannya bangunan-bangunan suci agama Buddha. Sebagai contoh adalah Candi Kalasan dan Arca Manjusri. Kalian masih dapat melihat keberadaan Candi Kalasan yang terletak di Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman DIY. Pada masa Panangkaran, kekuasaan Mataram bertambah luas.

3) Perpecahan Dinasti Syailendra
Pada masa Sanjaya, agama Hindu merupakan agama keluarga raja. Namun pada masa Panangkaran, agama Buddha menjadi agama kerajaan. Hal inilah yang mendorong terjadinya perpecahan dalam keluarga Dinasti Syailendra. Wilayah Mataram akhirnya dibagi menjadi dua, yaitu di antara Keluarga Syailendra. Keluarga yang menganut agama Hindu mengembangkan kekuasaan di daerah Jawa Tengah bagian utara. Sementara keluarga yang beragama Buddha berkuasa di daerah Jawa Tengah bagian selatan.
Upaya menyatukan dua keluarga terus diupayakan dan akhirnya membuahkan hasil. Penyatuan ditandai dengan terjadinya perkawinan antara dua keluarga. Rakai Pikatan dari keluarga yang beragama Hindu menikah dengan Pramudawardani, putri dari Samaratungga yang beragama Buddha.

Perkawinan Pramodhawardhani dengan Rakai Pikatan ditentang oleh Balaputradewa. Setelah Samaratungga wafat, Balaputradewa memberontak terhadap Rakai Pikatan. Balaputradewa mengalami kekalahan dan menyingkir ke Sumatra.

4) Masa Kebesaran Mataram
Bagaimana kelanjutan Kerajaan Mataram setelah Rakai Pikatan? Pada 856 M, Kayuwangi atau Dyah Lokapala menggantikan Pikatan. Tidak banyak sumber sejarah yang memberitakan masa pemerintahannya. Setelah Kayuwangi wafat, ia digantikan oleh Watuhumalang.

Pengganti Watuhumalang adalah Balitung yang merupakan salah satu raja terkenal dan terbesar Mataram. Ia memerintah sejak tahun 898 hingga 911 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmadya Mahasambu. Salah satu kebesarannya dibuktikan dengan bangunan candi yang sangat besar dan indah. Candi tersebut tentu tidak asing lagi bagi kalian, yaitu Candi Prambanan. Pada masa pemerintahannya, Balitung juga banyak membuat prasasti. Prasasti yang terpenting adalah Prasasti Kedu.

d. Keruntuhan Mataram
Sepeninggal Balitung, Mataram berturut-turut diperintah oleh Daksa, Tulodhong, Wawa, dan Mpu Sendok. Kala itu seiring berkembangnya Kerajaan Sriwijaya, Mataram mengalami penurunan. Keruntuhan Mataram juga dihubungkan dengan faktor alam. Pada awal abad XI, Gunung Merapi meletus dengan dahsyat. Letusan Gunung Merapi diperkirakan banyak mengubur berbagai bangunan penting Kerajaan Mataram. Selain itu, berbagai penyakit dan kegagalan pertanian mendorong Mpu Sendok untuk memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur. Di Jawa Timur, keluarga ini membentuk keluarga Isyana (Wangsa Isyana).

5. Kerajaan Sriwijaya

a. Munculnya Kerajaan Sriwijaya
Menurut berbagai sumber sejarah, sekitar abad ke-7, di pantai Sumatra Timur telah berkembang berbagai kerajaan. Kerajaankerajaan tersebut, antara lain Tulangbawang, Melayu, dan Sriwijaya. Sriwijaya merupakan kerajaan yang berhasil berkembang mencapai kejayaan. Pada 692 M, Sriwijaya mengadakan ekspansi ke daerah sekitar Melayu.

b. Letak Kerajaan Sriwijaya
Di mana letak Kerajaan Sriwijaya? Belum ditemukan secara pasti di mana persisnya letak istana Kerajaan Sriwijaya. Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang, namun ada pula yang berpendapat di Jambi. Ahli sejarah lainnya bahkan ada yang berpendapat letaknya di luar Indonesia. Di antara berbagai pendapat yang mengemuka, mayoritas ahli sejarah berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Palembang. Tepatnya di dekat pantai dan di tepi Sungai Musi.
Kata Sriwijaya pertama kali ditemukan di dalam Prasasti Kota Kapur. H. Kern pada 1913 mengidentifikasikan kata Sriwijaya sebagai nama raja. Baru lima tahun kemudian, G. Coedes dengan menggunakan sumber prasasti dan bukti Cina berhasil menyimpulkan bahwa Sriwijaya adalah nama kerajaan.
c. Sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Sebagaimana halnya kerajaan-kerajaan Hindu Buddha lainnya, prasasti merupakan salah satu sumber sejarah utama. Prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya sebagian besar ditulis dengan huruf Pallawa. Bahasa yang dipakai adalah Melayu Kuno. Berikut ini beberapa prasasti yang berhubungan dengan Kerajaan Sriwijaya.

1) Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang, berangka tahun 605 Saka atau 683 M. Prasasti ini menerangkan bahwa Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci (siddhayatra). Dapunta Hyang melakukan perjalanan dengan perahu dari Minangatamwan bersama tentara 20.000 personel. Dalam perjalanan tersebut, ia berhasil menaklukkan beberapa daerah.

2) Prasasti Talang Tuo
Prasasti Talang Tuo ditemukan di sebelah barat Palembang, tepatnya di daerah Talang Tuo dan berangka tahun 606 Saka (684 M). Prasasti ini menyebutkan pembangunan sebuah taman yang disebut Sriksetra. Taman ini dibuat oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Tujuannya untuk kemakmuran rakyat.

3) Prasasti Telaga Batu
Prasasti Telaga Batu ditemukan di Palembang. Prasasti ini tidak berangka tahun. Isinya terutama menceritakan kutukan-kutukan yang menakutkan bagi mereka yang berbuat kejahatan.

4) Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka. Prasasti ini berangka tahun 608 Saka (686 M). Isinya adalah permintaan kepada para dewa untuk menjaga kedatuan Sriwijaya dan menghukum setiap orang yang bermaksud jahat. Selain itu, prasasti ini juga menceritakan keberangkatan pasukan Sriwijaya untuk menundukkan Pulau Jawa.

5) Prasasti Karang Berahi
Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi. Prasasti ini berangka tahun 608 Saka (686 M). Isi prasasti sama dengan isi Prasasti Kota Kapur.

Beberapa prasasti yang lain, di antaranya Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda. Prasasti Ligor berangka tahun 775 M ditemukan di Ligor, Semenanjung Melayu. Prasasti Nalanda ditemukan di Nalanda, India Timur. Di samping prasasti-prasasti tersebut, sumber sejarah Sriwijaya yang penting adalah berita Cina. Misalnya, berita dari I-tshing yang pernah tinggal di Sriwijaya.
Museum Balaputra Dewa merupakan salah satu museum yang menyimpan berbagai peninggalan masa Kerajaan Sriwijaya. Di dalam gedung museum ini, wisatawan dapat melihat ratusan koleksi benda bersejarah, antara lain prasasti Sriwijaya, Kedukan Bukit Siguntang, Talang Tuo, dan prasasti Boom Baru. Selain itu, para pengunjung dapat menyaksikan pakaian adat dari berbagai daerah Sumsel. Letak Museum Balaputra Dewa cukup strategis untuk dijangkau, yaitu sekitar enam kilometer dari pusat kota Palembang.
d. Perkembangan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya lambat laun mengalami perkembangan hingga menjadi sebuah kerajaan besar. Apa saja peran Sriwijaya? Mari kita telusuri bersama.

1) Kerajaan Sriwijaya sebagai Negara Maritim
Prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuo pada abad ke-7 menyebutkan Dapunta Hyang melakukan usaha perluasan daerah. Beberapa daerah, seperti Tulang-Bawang (Lampung), Kedah (Semenanjung Melayu), Pulau Bangka, Daerah Jambi, hingga Tanah Genting Kra berhasil ditaklukkan. Dengan demikian, Sriwijaya mempunyai kekuasaan sampai di negeri Malaysia pada saat ini. Sayangnya, usaha Sriwijaya menaklukkan Jawa tidak berhasil.

Balaputradewa adalah putra dari Raja Samaratungga dengan Dewi Tara. Ia memerintah sekitar abad ke-9 M. Wilayah kekuasaan Sriwijaya pada masa pemerintahannya sangat luas. Daerah kekuasaannya meliputi Sumatra dan pulau-pulau sekitar Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, sebagian Kalimantan, Semenanjung Melayu, dan hampir seluruh perairan nusantara. Itulah sebabnya, Sriwijaya kemudian dikenal sebagai negara nasional yang pertama.

Sriwijaya adalah negara maritim sehingga daerah kekuasaannya sebagian besar adalah wilayah pantai. Sebagai Kerajaan Maritim, Sriwijaya membentuk armada angkatan laut yang kuat.

2) Kerajaan Sriwijaya sebagai Pusat Studi Agama Buddha
Pada masa pemerintahan Balaputradewa, Sriwijaya menjadi pusat studi agama Buddha Mahayana di seluruh Asia Tenggara. Balaputradewa juga menjalin hubungan erat dengan Kerajaan Benggala dari India, yaitu dengan Raja Dewapala Dewa. Ia menghadiahkan sebidang tanah kepada Balaputradewa untuk mendirikan sebuah asrama bagi para pelajar dan mahasiswa yang sedang belajar di Nalanda.

Sriwijaya menjadi salah satu pusat pendidikan di Asia Tenggara. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya mahasiswa asing yang belajar di Sriwijaya. Mahasiswa yang ingin belajar ke India biasanya mampir ke Sriwijaya terlebih dahulu untuk belajar Bahasa Sanskerta. Para mahasiswa tersebut umumnya berasal dari Asia Timur. Bukti tentang cerita di atas adalah berita I-tsing, yang menyebutkan bahwa di Sriwijaya tinggal ribuan pendeta dan pelajar (mahasiswa) agama Buddha. Para pelajar tersebut dibimbing oleh seorang pendeta Buddha yang terkenal bernama Sakyakirti.

e. Keruntuhan Sriwijaya
Sekitar abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Beberapa penyebab kemunduran Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai berikut.
  1. Perubahan kondisi alam. Pusat Kerajaan Sriwijaya semakin jauh dari pantai akibat pengendapan lumpur. Pendangkalan Sungai Musi secara terus-menerus menyebabkan air laut semakin jauh karena terbentuknya daratan-daratan baru.
  2. Angkatan laut mengalami kemunduran sehingga banyak daerah kekuasaan melepaskan diri.
  3. Beberapa kali Sriwijaya mendapat serangan dari kerajaan lain. Pada 1017 M, Sriwijaya mendapat serangan dari Raja Rajendracola dari Colamandala. Tahun 1025 serangan itu diulangi sehingga Raja Sriwijaya Sri Sanggramawijayattunggawarman ditahan oleh pihak Kerajaan Colamandala. Pada 1275 M, Raja Kertanegara dari Singasari melakukan ekspedisi Pamalayu. Hal itu menyebabkan daerah Melayu lepas dari kekuasaan Sriwijaya. Serangan armada angkatan laut Majapahit atas Sriwijaya pada 1377 M mengakhiri riwayat Kerajaan Sriwijaya.
6. Kekuasaan Keluarga Isyana

Mpu Sendok adalah menantu Raja Wawa. Wawa merupakan raja terakhir Kerajaan Mataram. Mpu Sendok membentuk keluarga baru yang disebut Keluarga Isyana (Wangsa Isyana) di Jawa Timur. Sebagai raja pertama Dinasti Isyana, ia bergelar Sri Isyana Wikramadharmatunggadewa. Pemerintahannya berlangsung sejak 929 M hingga 947 M.

a. Awal Kekuasaan Wangsa Isyana
Keluarga Isyana memusatkan pemerintahannya di Tamwlang, dekat Kabupaten Jombang Jawa TImur. Pada masa pemerintahannya, Mpu Sendok berhasil memperluas kekuasaan meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali.

Mpu Sendok melakukan beberapa usaha penting, antara lain sebagai berikut.
  1. Mengembangkan bidang pertanian dengan memperluas irigasi dan lahan pertanian.
  2. Memajukan bidang agama. Salah satunya dengan membangun candi, seperti Candi Gunung Gangsir dan Sanggariti.
  3. Menulis buku suci agama Buddha Sang Hyang Kamahayanikan. Tujuannya untuk mendukung kemajuan agama dan sastra. Karya ini juga menunjukkan bahwa Mpu Sendok sangat toleran sebab ia menganut agama Hindu.
b. Makutawangsawardana
Pengganti Mpu Sendok adalah anak perempuannya bernama Sri Isyanatunggawijaya. Isyanatunggawijaya mempunyai putra yang bernama Makutawangsawardana. Makutawangsawardana menggantikan Isyanatunggawijaya sebagai raja.

Makutawangsawardana memiliki putri bernama Mahendradata yang sering disebut dengan Gunapriyadarmapatni. Mahendradata menikah dengan pangeran dari Bali bernama Udayana. Pasangan inilah yang kemudian menurunkan Airlangga. Kelak Airlangga akan menjadi salah satu tokoh raja yang sangat terkenal. Pengganti Makutawangsawardana adalah Darmawangsa (anak laki-laki Makutawangsawardana).

c. Darmawangsa
Darmawangsa (memerintah 991–1017 M) memiliki cita-cita menguasai pelayaran nusantara. Tetapi pada tahun 1017 M terjadi peristiwa yang sangat memukul kerajaan. Istana Darmawangsa diserbu oleh Raja Wura-Wari menyebabkan Darmawangsa terbunuh. Waktu itu Darmawangsa sedang menikahkan putrinya dengan Airlangga. Beruntung Airlangga beserta istrinya berhasil meloloskan diri dan bersembunyi ke dalam hutan. Peristiwa penyerbuan Raja Wura Wari hingga menyebabkan Darmawangsa wafat itu disebut peristiwa Pralaya. Peristiwa ini telah mengandaskan cita-cita Darmawangsa untuk membesarkan kerajaan.

d. Airlangga
Airlangga adalah putra Raja Udayana dari Bali. Selama kurang lebih dua tahun setelah Pralaya, Airlangga hidup di tengah hutan. Pada tahun 1019 M, Airlangga dinobatkan sebagai raja oleh para pendeta. Airlangga membangun pusat pemerintahannya di Kahuripan. Narotama diangkat sebagai patih kerajaan. Dengan dukungan rakyat, Airlangga terus menghimpun kekuatan. Daerah atau kerajaan-kerajaan yang dulu di bawah kekuasaan Darmawangsa satu per satu dapat dikuasai kembali. Tahun 1033 Wura-Wari berhasil ditundukkan. Wilayah kekuasaan Airlangga semakin luas meliputi Jawa Timur, sebagian Jawa Tengah, dan sebagian Pulau Bali. Airlangga memerintah pada tahun 1019–1049 M. Kerajaannya kemudian disebut Kahuripan.

Airlangga berusaha untuk memajukan perekonomian rakyatnya. Usaha-usaha pembangunan bagi kesejahteraan rakyatnya, antara lain sebagai berikut:

1) Bidang Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, Airlangga berusaha untuk memajukan pertanian dengan irigasi melalui pembangunan Bendungan Waringin Sapta.

2) Seni Sastra
Kitab Arjunawiwaha ditulis oleh Mpu Kanwa pada tahun 1035 M. Isi kitab ini merupakan kiasan dari kehidupan Airlangga yang digambarkan dengan cerita Arjuna yang mendapat senjata dari Dewa Syiwa setelah bertapa.

3) Agama
Airlangga membangun asrama untuk para pendeta. Ia juga membangun pertapaan di Pucangan, di lereng Gunung Penanggungan. Airlangga memiliki seorang putri yang bernama Sanggramawijaya. Putri dari permaisuri yang seharusnya memiliki hak untuk memegang takhta sepeninggal Airlangga ternyata menolak kedudukan. Sanggramawijaya memilih menjadi pertapa. Untuk itu, Airlangga membangun pertapaan di Pucangan, di lereng Gunung Penanggungan. Setelah menjadi pertapa, Sanggramawijaya dikenal dengan nama Kilisuci.

Perebutan takhta kerajaan justru terjadi antara dua putra Airlangga dari selirnya. Kedua putranya adalah Samarawijaya dan Panji Garasakan. Karena pertentangan inilah, akhirnya Kerajaan Kahuripan dibagi menjadi dua pada 1041 M oleh Empu Bharada. Kerajaan dibagi dua dengan batas Sungai Brantas dan Gunung Kawi. Pembagian wilayah kerajaan itu adalah sebagai berikut.
  1. Panjalu atau Kediri, dengan pusatnya di Daha, diberikan kepada Samarawijaya. Daerah ini, antara lain meliputi Kediri dan Madiun.
  2. Jenggala dengan pusatnya di Kahuripan, diberikan kepada Panji Garasakan. Daerah ini meliputi Malang, delta Sungai Brantas, Pelabuhan Surabaya, Rembang, dan Pasuruan.
Dengan telah dibaginya Kerajaan Kahuripan menjadi dua, berkembanglah dua kerajaan, yaitu Kediri dan Jenggala.

7. Kerajaan Kediri di Jawa Timur
Munculnya Kerajaan Kediri erat kaitannya dengan kelanjutan Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Panjalu di bawah Samarawijaya dan Jenggala di bawah Panji Garasakan terjadi konflik. Akhirnya, pada tahun 1052 M terjadilah pertempuran antara kedua kerajaan. Kerajaan Jenggala memenangi pertempuran. Selanjutnya, Panjalu dan Jenggala di bawah pemerintahan Panji Garasakan (Raja Jenggala). Pada perkembangan berikutnya, kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri dengan ibu kota di Daha.
a. Raja-Raja Kediri
Raja terkenal Kediri adalah Raja Jayabaya yang memerintah mulai 1135 M hingga 1157 M. Jayabaya terkenal dengan berbagai ramalannya yang hingga kini masih dipercayai oleh sebagian masyarakat. Selain ramalannya, kebesaran Jayabaya juga diwarnai dengan terbitnya kitab gubahan. Kitab tersebut adalah Bharatayuda.

Beberapa raja setelah Jayabaya dapat dilihat pada daftar di bawah ini.
  1. Sarweswara (1159–1169)
  2. Sri Ayeswara (1169–1171)
  3. Sri Gandra (1181–1182)
  4. Kameswara (1182–1185)
  5. Kertajaya (1185–1222)
b. Kemajuan Kerajaan Kediri
Jayabaya adalah raja yang cukup berhasil membawa Kerajaan Kediri dalam kemajuan. Kerajaan semakin teratur dan rakyat hidup makmur. Kediri juga memiliki armada laut, bahkan telah ada Senopati Sarwajala (panglima angkatan laut). Pajak telah diberlakukan dengan sistem pajak in natura, berupa penyerahan sebagian hasil bumi kepada pemerintah.

Salah satu simbol kemajuan suatu negara adalah kemajuan perkembangan kesenian dan kesusastraan. Seni sebagai nilai estetika akan menjadikan simbol telah terpenuhinya kebutuhan primer suatu kelompok atau masyarakat. Bagaimana dengan perkembangan seni dan kesusastraan di Kerajaan Kediri? Selain Wayang Panji, di Kediri juga berkembang beberapa hasil kesusastraan berikut ini.

1) Kitab Baratayuda
Masih ingatkah kalian dengan Perang Panjalu dan Jenggala? Perang tersebut adalah perang saudara karena kedua rajanya berasal dari satu keturunan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, lahirlah sebuah kitab yang dikenal, yaitu Kitab Baratayuda yang digubah Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini menggambarkan Perang Pandawa dan Kurawa yang tercermin dalam Perang Panjalu dan Jenggala.

2) Kitab Kresnayana
Kitab Kresnayana ditulis oleh Empu Triguna pada zaman Raja Jayaswara. Isinya mengenai perkawinan antara Kresna dan Dewi Rukmini.

3) Kitab Smaradahana
Kitab Smaradahana ditulis oleh Empu Darmaja. Isinya menceritakan sepasang suami istri, Smara dan Rati yang menggoda Dewa Syiwa yang sedang bertapa. Smara dan Rati terkena kutuk dan mati terbakar oleh api (dahana) karena kesaktian Dewa Syiwa. Akan tetapi, kedua suami istri itu dihidupkan lagi dan menjelma sebagai Kameswara dan permaisurinya.

4) Kitab Lubdaka
Kitab Lubdaka ditulis oleh Empu Tanakung. Isinya tentang seorang pemburu bernama Lubdaka. Ia sudah banyak melakukan kejahatan. Pada suatu ketika, ia mengadakan pemujaan yang istimewa terhadap Syiwa sehingga roh yang semestinya masuk neraka akhirnya masuk surga.

c. Keruntuhan Kerajaan Kediri
Kertajaya atau Dandang Gendis merupakan raja Kediri yang terakhir. Pada masa pemerintahannya, banyak terjadi perselisihan dengan kaum brahmana. Kertajaya dianggap sombong dan berani melanggar adat. Situasi ini dimanfaatkan oleh Ken Arok untuk merebut kekuasaan Kediri yang sudah lama didambakan. Pada awalnya, Ken Arok hanyalah rakyat biasa, namun ia berhasil menjadi Bupati Tumapel. Keberhasilan Ken Arok menjadi Bupati Tumapel tidak lepas dari kesuksesannya mengalahkan Bupati Tumapel. Pada 1222 M, Ken Arok menyerang Kediri dan berhasil merebut istana kerajaan.

8. Kerajaan Singasari
Singasari adalah kerajaan yang didirikan oleh Ken Arok setelah ia berhasil mengalahkan Tunggul Ametung. Kerajaan Singasari diperkirakan terletak di Malang, Jawa Timur. Berbagai bukti sejarah yang ditemukan menunjukkan keberadaannya. Bagaimana perkembangan Kerajaan Singasari? Kita akan mempelajarinya bersama.
a. Ken Arok (1222–1227 M)
Setelah menjadi raja, Ken Arok bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi. Ken Arok juga mendirikan Dinasti Girindrawangsa. Tujuan pendirian dinasti tersebut adalah agar keturunan Ken Arok tidak ternoda oleh masa lalunya yang kelam. Ia memerintah selama lima tahun sebelum akhirnya dibunuh oleh Anusapati yang tak lain adalah anak Tunggul Ametung. Lebih tragisnya, ia dibunuh dengan keris Empu Gandring yang dulu pernah digunakan Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung.

b. Anusapati (1227–1248 M)
Anusapati menggantikan kedudukan Ken Arok sebagai raja. Ia memerintah selama 21 tahun. Walaupun memerintah cukup lama, Anusapati tidak banyak membuat perubahan dalam pemerintahannya. Ia sangat gemar menyabung ayam dan kurang memerhatikan kerajaannya. Pada suatu hari saat sedang menyabung ayam, Tohjaya berhasil membunuh Anusapati. Tohjaya adalah anak Ken Arok dari Ken Umang. Ia tidak terima ayahnya dibunuh oleh Anusapati.

c. Tohjaya (1248 M)
Tohjaya yang menjadi Raja Singasari ketiga hanya memerintah selama beberapa bulan. Ranggawuni, anak Anusapati meminta haknya. Pasukan Tohjaya di bawah pimpinan Lembu Ampal gagal menghancurkan perlawanan Ranggawuni. Pasukan Tohjaya kalah, bahkan ia terbunuh dalam suatu pertempuran.

d. Ranggawuni (1248–1268 M)
Ranggawuni bergelar Sri Jaya Wisnuwardana, memerintah Singasari didampingi oleh Mahisa Cempaka. Pemerintahan Ranggawuni membawa Singasari pada keamanan dan kemakmuran. Pada 1254 M, Wisnuwardana (Ranggawuni) mengangkat putranya Kertanegara sebagai raja muda atau Yuwaraja. Tujuannya untuk menyiapkan Kertanegara agar menjadi raja yang cakap. Pada 1268 M, Ranggawuni meninggal dunia.

e. Kertanegara (1268–1292 M)
Pada 1268 M Kertanegara naik takhta dan bergelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Kertanegara merupakan raja terbesar sekaligus terakhir di Singasari. Ia bercita-cita agar Singasari menjadi kerajaan besar dengan wilayah kekuasaan yang luas, yaitu meliputi seluruh nusantara. Pada 1275 M, Raja Kertanegara mengirim Ekspedisi Pamalayu di bawah pimpinan Mahesa Anabrang (Kebo Anabrang). Sasaran dari ekspedisi ini adalah menguasai Sriwijaya. Beberapa daerah akhirnya berhasil ditaklukkan, misalnya Bali, Kalimantan Barat Daya, Maluku, Sunda, dan Pahang. Utusan Raja Kubilai Khan berkali-kali datang dan memaksa Kertanegara agar mau mengakui kekuasaan Kerajaan Mongol, tetapi ditolak Kertanegara karena memandang Cina sebagai saingan. Terakhir pada 1289 M, datang utusan Cina yang dipimpin oleh Mengki. Kertanegara marah, Meng-ki disakiti dan disuruh kembali ke Cina. Hal inilah yang membuat Kubilai Khan marah besar. Ia merencanakan untuk membalas tindakan Kertanegara.

f. Akhir Kerajaan Singasari
Singasari runtuh akibat pemberontakan yang dilakukan oleh Jayakatwang, Raja Kediri. Saat Kertanegara sedang berpesta pora, secara tiba-tiba Jayakatwang menyerbu istana Kerajaan Singasari. Kertanegara menugaskan pasukan di bawah pimpinan R. Wijaya dan Pangeran Ardaraja. Ardaraja adalah anak Jayakatwang dan menantu Kartanegara. Pasukan Kediri dari arah utara dapat dikalahkan oleh pasukan R. Wijaya. Akan tetapi, pasukan inti dari Kediri dengan leluasa akhirnya masuk dan menyerang istana sehingga berhasil menewaskan Kertanegara. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1292 M. Raden Wijaya dan pengikutnya kemudian meloloskan diri setelah mengetahui istana kerajaan dihancurkan oleh pasukan Kediri. Sementara Ardaraja membalik bergabung dengan pasukan Kediri. Dengan terbunuhnya Kertanegara maka berakhirlah Kerajaan Singasari.

9. Kerajaan Majapahit
Berkembangnya Kerajaan Majapahit erat kaitannya dengan runtuhnya Kerajaan Singasari. Orang yang mempunyai peran besar adalah Raden Wijaya. Bagaimana proses lahir dan berkembangnya Majapahit hingga menjadi kerajaan besar di Indonesia? Mari kita pelajari bersama.

a. Berdirinya Kerajaan Majapahit
Dalam Prasasti Kudadu diterangkan bahwa Raden Wijaya diterima baik dan mendapat perlindungan dari Kepala Desa Kudadu. Mereka melanjutkan perjalanan ke Madura untuk meminta bantuan dan perlindungan kepada Arya Wiraraja. Rombongan diterima baik oleh Arya Wiraraja. Di Madura itulah Raden Wijaya bersama Arya Wiraraja menyusun siasat untuk merebut kembali takhta kerajaan yang dikuasai Jayakatwang.

Setelah segalanya disiapkan secara matang, Raden Wijaya dan rombongan dengan didampingi Arya Wiraraja berangkat ke Jawa. Dengan pura-pura takluk dan atas jaminan Arya Wiraraja, Raden Wijaya diterima mengabdi sebagai prajurit di Kediri. Raden Wijaya kemudian memohon sebidang tanah di Hutan Tarik untuk tempat kedudukannya. Tanah itu dibangun menjadi sebuah desa. Di Desa Tarik, pengikut Raden Wijaya semakin kuat.

Pada 1293 M, datang pasukan Kaisar Cina ke Jawa untuk menuntut balas terhadap Kertanegara. Kalian masih ingat Kertanegara pernah terlibat konflik dengan kekaisaran Cina, bukan? Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Cina ini untuk menggempur Jayakatwang. Pasukan Cina tidak mengetahui kalau Kertanegara telah terbunuh. Raden Wijaya mendorong tentara Cina untuk menggempur Jayakatwang. Terjadilah pertempuran sengit antara tentara Cina (yang dibantu oleh sebagian pengikut Raden Wijaya) dengan tentara Kediri. Dalam pertempuran ini Kediri dapat dikalahkan. Jayakatwang dan Ardaraja dapat ditangkap dan ditahan di Hujung Galuh sampai wafat.

Tentara Cina merayakan kemenangan dengan berpesta pora. Raden Wijaya memanfaatkan situasi itu dengan menyerang tentara Cina. Serangan mendadak ini membuat banyak tentara Cina terbunuh, sementara sebagian yang selamat melarikan diri dan kembali ke Cina. Setelah suasana aman, Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja Kerajaan Majapahit.

b. Raja-Raja yang Memimpin Majapahit
Raja yang memimpin Kerajaan Majapahit adalah sebagai berikut.

1) Raden Wijaya (1293–1309 M)
Setelah menjadi raja, Raden Wijaya bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Ia menikah dengan keempat putri dari Kertanegara dengan Diah Dewi Tribuwaneswari sebagai permaisuri. Dengan pernikahan tersebut, Raden Wijaya ingin memperkuat kedudukannya sebagai seorang raja. Selain itu, Raden Wijaya ingin menegaskan bahwa Kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan dari Kerajaan Singasari.

Raden Wijaya tidak melupakan orang-orang yang telah berjasa kepadanya. Arya Wiraraja diberi kekuasaan atas daerah Lumajang dan Blambangan, Ranggalawe sebagai Bupati Tuban dan Sora sebagai Bupati Kediri. Sementara itu, Nambi diangkat menjadi patih Majapahit, Mpu Tanca sebagai tabib istana, dan Semi serta Kuti sebagai pejabat tinggi istana. Untuk membalas budi masyarakat Kudadu yang pernah menolongnya saat pelarian, Desa Kudadu dijadikan sebagai daerah perdikan atau bebas dari pajak. Ternyata, sebagian orang merasa tidak puas dengan kebijakan Raden Wijaya karena menganggap dirinya pantas mendapat kedudukan lebih tinggi. Sejumlah pemberontakan menyebabkan kondisi kerajaan tidak stabil. Di tengah situasi yang kacau tersebut, Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 M.
Raden Wijaya mempunyai tiga anak. Dari Tribuwaneswari mempunyai putra Kalagemet (Jayanegara) dan dari Gayatri rnempunyai dua putri Sri Gitarja atau Tribuwana dan Dyah Wiyat. Sri Gitarja sebagai Bhre Kahuripan (penguasa di Kahuripan) dan Dyah Wiyat sebagai Bhre Daha.
2) Jayanegara (1309–1328 M)
Setelah Raden Wijaya wafat, Jayanegara menggantikan kedudukannya sebagai Raja Majapahit. Masa pemerintahan Jayanegara juga diwarnai oleh berbagai pemberontakan. Pemberontakan tersebut merupakan kelanjutan dari pemberontakan yang pernah terjadi pada masa pemerintahan ayahnya.

Beberapa pemberontakan yang terjadi, antara lain sebagai berikut.

(a) Pemberontakan Ranggalawe (1309 M)
Ranggalawe merasa tidak puas karena ia menginginkan kedudukan Patih Majapahit, tetapi yang diangkat justru Nambi (anak Arya Wiraraja). Pemberontakan ini dapat dipadamkan dan Ranggalawe terbunuh.

(b) Pemberontakan Lembu Sora (1311 M)
Ia masih memiliki hubungan keluarga dengan Ranggalawe. Karena difitnah maka ia memberontak. Pemberontakan ini juga berhasil dipadamkan.

(c) Pemberontakan Nambi (1316 M)
Nambi yang sudah menjadi patih ternyata juga kecewa. Hal ini disebabkan oleh tindakan Mahapatih yang ingin menjadi Patih Majapahit. Nambi melancarkan pemberontakan, namun akhirnya dapat dipadamkan.

(d) Pemberontakan Kuti (1319 M)
Ini merupakan pemberontakan yang paling berbahaya. Kuti berhasil menduduki ibu kota Majapahit. Raja Jayanegara terpaksa melarikan diri ke daerah Badander. Ia dikawal oleh sejumlah pasukan Bayangkari yang dipimpin oleh Gajah Mada. Berkat kecerdikan Gajah Mada, akhirnya pemberontakan Kuti dapat dipadamkan. Jayanegara dapat kembali ke istana dengan selamat dan kembali berkuasa. Karena jasanya, Gajah Mada diangkat sebagai Patih Kahuripan. Setelah pemberontakan dapat dipadamkan, kerajaan berangsur-angsur menjadi tenang. Pada tahun 1328 M Jayanegara wafat karena dibunuh oleh tabib istana yang bernama Tanca. Akhirnya, Tanca dibunuh oleh Gajah Mada.

3) Tribuwanatunggadewi (1328–1350 M)
Jayanegara tidak meninggalkan seorang putra. Sebagai raja Majapahit berikutnya, semestinya Gayatri. Akan tetapi, Gayatri sudah menjadi biksuni. Oleh karena itu, Gayatri menunjuk dan mewakilkan putrinya yang bernama Tribuwanatunggadewi sebagai Raja Majapahit. Dengan demikian, Tribuwanatunggadewi menjadi raja Majapahit atas nama Gayatri.

Pada tahun 1331 M timbul pemberontakan Sadeng dan Kuti di daerah Besuki. Pemberontakan ini cukup berbahaya. Gajah Mada diberi tugas untuk memadamkan pemberontakan itu. Berkat kegigihan Gajah Mada, pemberontakan Sadeng dan Kuti dapat ditumpas.

Karena jasa-jasanya yang begitu besar, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Majapahit. Pada upacara pelantikannya sebagai mahapatih, Gajah Mada mengucapkan sumpah yang kemudian terkenal dengan sebutan Sumpah Palapa. Isi dan maksud dari Sumpah Palapa adalah Gajah Mada tidak akan makan palapa (garam atau rempah-rempah), tidak akan bersenang-senang, dan tidak akan beristirahat sebelum seluruh Kepulauan Nusantara bersatu di bawah panji-panji Kerajaan Majapahit. Sekalipun sumpah itu mendapat ejekan, Gajah Mada bertekad untuk mewujudkannya. Gajah Mada terus berusaha untuk menaklukkan daerah-daerah di nusantara yang belum mau tunduk pada kekuasaan Majapahit.

4) Hayam Wuruk (1350–1389 M)
Pada 1350 M Gayatri atau Rajapatni wafat. Dengan demikian, Tribuwanatunggadewi yang menjadi raja atas nama Gayatri juga harus turun takhta. Ia digantikan oleh Hayam Wuruk (putra dari Tribuwanatunggadewi dan Kertawardana). Waktu itu usia Hayam Wuruk baru enam belas tahun sehingga tepatlah nama Hayam Wuruk yang artinya ayam jantan muda. Walaupun masih muda, tanda-tanda kepiawaian dan kecerdasan Hayam Wuruk sudah terlihat.

Setelah menjadi raja, ia bergelar Rajasanegara. Ia memerintah selama 39 tahun. Gajah Mada tetap menjabat sebagai Mahapatih Majapahit. Keduanya menjadi dwitunggal yang mengantarkan Majapahit menuju puncak keemasan. Wilayah kekuasaan Majapahit sangat luas, bahkan melebihi luas wilayah Republik Indonesia sekarang, mencakup sebagian besar wilayah nusantara sekarang ini dan Malaysia. Oleh karena itu, Majapahit juga dikenal dengan sebutan negara nasional kedua di Indonesia. Seluruh kepulauan di nusantara berada di bawah kekuasaan Majapahit.
c. Politik dan Pemerintahan
Kerajaan Majapahit telah mengembangkan sistem pemerintahan yang cukup lengkap dan teratur. Hal ini didukung oleh adanya stabilitas politik yang sejak masa Tribuwanatunggadewi perlahan mulai stabil. Berkat kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, stabilitas politik Majapahit semakin terjamin. Hal ini juga didukung oleh kekuatan tentara Majapahit dan angkatan lautnya yang kuat sehingga semua perairan nasional dapat diawasi. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia sehingga ia memiliki kedudukan paling tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain sebagai berikut.
  1. Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja.
  2. Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan.
  3. Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan.
  4. Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan.
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting, yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.

Dari segi hukum dan peradilan Majapahit sudah sangat maju. Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, dibentuk badan peradilan yang disebut Saptopapati. Untuk mendukung keterlaksanaan hukum disusun kitab hukum, yaitu Kitab Kutaramanawa. Kitab ini disusun oleh Gajah Mada yang sangat piawai dalam pemerintahan, strategi perang, dan hukum.

Majapahit juga menjalin hubungan dengan negara-negara/kerajaan lain. Hubungan dengan Negara Siam, Birma, Kamboja, Anam, India, dan Cina berlangsung dengan baik. Dalam membina hubungan dengan luar negeri, Majapahit mengenal moto Mitreka Satata, artinya negara sahabat.

d. Kehidupan Keagamaan
Kehidupan keagamaan di Majapahit sangat teratur dan penuh toleransi. Di Majapahit berkembang dua agama, yaitu agama Hindu dan agama Buddha. Mereka dapat hidup berdampingan secara damai. Untuk mengatur kehidupan beragama, dibentuk badan atau pejabat yang disebut Dharmadyaksa.

e. Perkembangan Sastra dan Budaya
Karya sastra yang paling terkenal pada zaman Majapahit adalah Kitab Negarakertagama. Kitab ini ditulis oleh Empu Prapanca pada 1365 M. Di samping menunjukkan kemajuan Majapahit di bidang sastra, Negarakertagama juga merupakan sumber sejarah Majapahit. Kitab lain yang penting adalah Sutasoma. Kitab ini disusun oleh Empu Tantular. Kitab Sutasoma memuat kata-kata yang sekarang menjadi semboyan negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Di samping menulis Sutasoma, Empu Tantular juga menulis kitab Arjunawiwaha.

Bidang seni bangunan juga berkembang. Banyak candi telah dibangun. Candi-candi yang telah dibangun waktu itu, antara lain Candi Penataran dan Sawentar di daerah Blitar, Candi Tlagawangi dan Surawana di dekat Pare, Kediri, serta Candi Tikus dan candi di Trowulan.

f. Kemunduran Majapahit
Pada 1364 M, Majapahit kehilangan tokoh dan pemimpin yang tidak ada bandingannya. Gajah Mada meninggal dunia. Hayam Wuruk kesulitan mencari pengganti Gajah Mada. Tidak ada seorang pun yang sanggup menggantikan peran dan kedudukan Gajah Mada. Majapahit semakin mundur ketika Hayam Wuruk wafat pada tahun 1389 M. Kepergian Gajah Mada dan Hayam Wuruk berpengaruh sangat besar terhadap menurunnya pamor Majapahit. Pengganti Hayam Wuruk seperti Wikramawardhana dan Suhita tidak dapat mengatasi pemberontakan yang dihadapi oleh Bhre Wirabumi dari Blambangan. Akhirnya, timbul perang berlarut-larut antara Wikramawardana dengan Bhre Wirabumi yang mengakibatkan pecahnya Perang Paregreg.

Perang saudara yang berkepanjangan membuat Majapahit semakin lemah. Puncaknya adalah serangan tentara Islam Demak pada masa pemerintahan Girindrawardana. Sejak saat itu, Majapahit menjadi salah satu daerah bawahan Kerajaan Demak.

10. Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali

a. Perkembangan Buleleng
Kalian tentu tidak asing lagi dengan nama Pulau Bali. Pada masa Hindu Buddha, Bali termasuk salah satu daerah yang terkena pengaruhnya. Hingga kini, bahkan mayoritas penganut agama Hindu masih banyak terdapat di Bali. Salah satu Kerajaan Hindu Buddha di Bali adalah Kerajaan Buleleng. Nama Buleleng mulai terkenal setelah periode kekuasaan Majapahit. Sekarang, Buleleng merupakan salah satu nama kabupaten di Bali.

Buleleng terletak di tepi pantai sehingga lambat laun kerajaan ini menjadi pusat perdagangan laut. Hasil pertanian dari pedalaman diangkut lewat darat menuju Buleleng. Dari Buleleng barang dagangan berupa hasil pertanian, seperti kapas, beras, asam, kemiri, dan bawang diperdagangkan ke pulau lain. Seiring berkembangnya perdagangan laut di zaman kuno, Buleleng secara ekonomis berperan penting bagi perkembangan kerajaan-kerajaan di Bali, misalnya pada masa Kerajaan Dinasti Warmadewa.

b. Kerajaan Dinasti Warmadewa

1) Sumber Sejarah
Prasasti tertua yang berangka tahun 804 S atau 882 M berisi tentang pemberian izin kepada para biksu untuk membuat pertapaan di Bukit Kintamani. Prasasti itu menyebutkan bahwa istana raja terletak di Singhamandawa. Prasasti lain berbentuk semacam tugu ditemukan di Desa Blanjong, dekat Sanur, berangka tahun 836 S atau 914 M. Prasasti itu menyebutkan bahwa yang memerintah adalah Raja Kesari Warmadewa.

Menurut perkiraan, Singhamandawa terletak di antara Kintamani (Danau Batur) dan Pantai Sanur (Blanjong), yaitu sekitar Tampaksiring dan Pejeng. Singhamandawa berada di antara Sungai Patanu dan Pakerisan. Menurut para pemuka di Bali, Singhamandawa terletak di Pejeng sekarang.

2) Perkembangan Politik Pemerintahan
Raja-raja yang berkuasa di Kerajaan Singhamandawa dikenal dengan Wangsa (Keluarga) Warmadewa. Wamsakarta adalah Kesari Warmadewa. Setelah Kesari Warmadewa (tahun 915–942 M) yang menjadi raja adalah Ugrasena. Setelah itu, raja-raja yang memerintah di Bali dari Wangsa Warmadewa, antara lain sebagai berikut.
  1. Tabanendra Warmadewa, memerintah bersama permaisurinya Sang Ratu Luhur Sri Subadrika Darmadewi (955–967 M).
  2. Indra Jayasinga Warmadewa (967–975 M).
  3. Janasadu Warmadewa (975–983 M).
  4. Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi, seorang raja perempuan (983–989 M).
  5. Darma Udayana Warmadewa, memerintah bersama permaisurinya Mahendradatta (989–1011 M).
  6. Marakata Pangkaa (1011–1025 M).
  7. Anak Wungsu (1049–1077 M).
  8. Sri Maharaja Sri Walaprabu.
Dari beberapa raja tersebut yang terkenal, antara lain Indra Jayasinga Warmadewa, Udayana, dan Anak Wungsu. Udayana termasuk raja yang besar dari Wangsa Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya bernama Mahendradatta (putri dari Raja Makutawangsawardana di Jawa Timur). Pada 1001 M, Mahendradatta wafat dan dicandikan di Desa Burwan atau Buruan di dekat Bedulu. Arca perwujudannya berupa Durga terdapat di Kutri, daerah Gianyar sehingga dikenal dengan nama Durga Kutri.

Sepeninggal Mahendradatta, Udayana menjalankan pemerintahan sendiri sampai tahun 1011 M. Udayana wafat dan dicandikan di Banu Wka. Udayana mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga kemudian berkuasa di Jawa Timur menggantikan Darmawangsa. Ia kemudian digantikan oleh Marakata (Marakata Pangkaja). Raja Marakata disebut sebagai kebenaran hukum dan selalu melindungi rakyatnya.

Marakata Pangkaja digantikan oleh saudaranya bernama Anak Wungsu. Pada masa pemerintahan Anak Wungsu, kekuasaan Wangsa Warmadewa mencapai zaman keemasan. Kerajaan dalam keadaan aman dan tenteram. Rakyat bertambah makmur. Pada masa pemerintahannya, agama juga berkembang dengan baik. Anak Wungsu adalah pemeluk Hindu yang setia, terutama aliran Waisnawa. Ia telah membangun komplek percandian di Gunung Kawi, Tampaksiring.

Anak Wungsu memerintah hingga tahun 1077 M. Ia tidak menurunkan seorang putra pun. Anak Wungsu wafat tahun 1077 M dan dicandikan di Gunung Kawi dekat Tampaksiring. Anak Wungsu digantikan oleh Sri Maharaja Sri Walaprabu.

Setelah kekuasaan Jayasakti berakhir, tidak terdengar berita siapa yang menjadi raja. Baru pada 1155 M muncul seorang raja bernama Ranggajaya. Pemerintahan raja ini tidak banyak diketahui. Hanya pada 1177 M muncul pemerintahan Raja Jayapangus. Ia diperkirakan merupakan putra Ranggajaya.

Raja Jayapangus merupakan raja yang terkenal di Bali. Jayapangus memerintah hingga tahun 1181 M. Sesudah Raja Jayapangus, masih banyak raja yang memerintah di Bali. Pada 1284 M, Bali ditundukkan oleh Kertanegara dari Singasari. Pada 1343 M, Bali menjadi daerah kekuasaan Majapahit.

11. Kerajaan Sunda (Pajajaran) di Jawa Barat
Setelah Kerajaan Tarumanegara, perkembangan sejarah di Jawa Barat tidak banyak diketahui lagi. Pada Tahun 1050 M, nama Sunda kembali dijumpai dalam Prasasti Sanghyang Tapak. Prasasti ini ditemukan di Kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang di tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini penting karena menyebut nama Raja Sri Jayabupati. Daerahnya disebut Prahajyan Sunda. Raja Sri Jayabupati disamakan dengan Rakyan Darmasiksa pada cerita Parahyangan. Pusat pemerintahannya adalah Pakuan Pajajaran (diperkirakan di dekat Bogor sekarang).

Raja Sri Jayabupati merupakan penganut agama Hindu aliran Waisnawa. Hal ini dapat dilihat dari gelarnya, yaitu Wisnumurti. Masa pemerintahan Jayabupati sezaman dengan pemerintahan Airlangga di Jawa Timur.

Perkembangan kerajaan Hindu Buddha di Jawa Barat tidak banyak meninggalkan bangunan keagamaan sebagaimana di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Satu-satunya Candi Hindu yang masih utuh adalah Candi Cangkuang di Garut.

Sri Jayabupati digantikan oleh Rahyang Niskala Wastu Kancana. Pusat kerajaannya ada di Kawali. Dengan demikian, kemungkinan pusat kerajaan pindah dari Pakuan Pajajaran ke Kawali. Letak Kawali tidak jauh dari Galuh yang merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Sunda zaman Sanna dahulu. Diterangkan bahwa di sekeliling keraton dibuat saluran air. Raja Niskala Wastu Kancana meninggal dan dimakamkan di Nusalarang. Ia digantikan oleh anaknya yang bernama Rahyang Dewa Niskala atau Rahyang Ningrat Kancana.
Sungai Citarum yang membelah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
Tentang keadaan Kerajaan Pajajaran, Tome Pires menggambarkan bahwa ibu kota kerajaannya sangat ramai. Terdapat sekitar 50.000 penduduk dengan berbagai pekerjaan, seperti juru lukis (pelukis), pande dang (pandai besi), pande mas, panyamah (penyawah), pako tokan (peternak ayam), dan sebagainya.

Rahyang Dewa Niskala digantikan oleh Sri Baduga Maharaja. Ia bertakhta di Pakuan Pajajaran. Sri Baduga memerintah antara tahun 1350 hingga 1357 M. Pusat pemerintahannya kembali ke Pakuan Pajajaran. Pada masa pemerintahannya, kerajaan teratur dan tenteram.

Menurut Kitab Pararaton, pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja telah terjadi peristiwa yang disebut Pasundan Bubat. Dalam peristiwa tersebut Sri Baduga Maharaja tewas. Akhirnya, yang melanjutkan pemerintahan di Pakuan Pajajaran adalah Hyang Bunisora. Ia memerintah antara tahun 1357–1371 M. Setelah itu, berturut-turut raja yang memerintah di Sunda sebagai berikut.
  1. Prabu Niskala Wastu Kancana (1371–1474 M).
  2. Tohaan di Galuh (1415–1482 M).
  3. Sang Ratu Jayadewata (1482–1521 M). Pada masa pemerintahan Jayadewata, Ratu Samiam (Surawisesa) sebagai putra mahkota diutus ke Malaka. Pada waktu itu, Islam sudah berkembang di berbagai daerah, termasuk di Cirebon. Tujuannya untuk mencari bantuan pada Portugis karena Kerajaan Pajajaran saat itu terdesak oleh serangan tentara Islam.
  4. Ratu Samiam (Surawisesa) (1521–1535 M). Pada masa pemerintahan Ratu Samiam datang utusan Portugis dari Malaka dipimpin oleh Hendrik de Leme. Pada tahun 1527 M Sunda Kelapa jatuh ke tangan tentara Islam.
  5. Prabu Ratu Dewata (1535–1543 M). Pada masa pemerintahan Prabu Ratu Dewata, terjadi serangan tentara Islam yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin dan anaknya, Maulana Yusuf.
  6. Sang Ratu Saksi (1543–1551 M).
  7. Tohaan di Majaya (1551–1567 M).
  8. Nusiya Mulya (1567–1579 M).
Nusiya Mulya merupakan raja terakhir dari Kerajaan Pajajaran.