Minggu, 26 April 2020

MEDIA dan BUDAYA

Mantan KA UPTD


MEDIA dan BUDAYA
Oleh Suwardi Lubis
Islam di kawasan Kepulauan Nusantara sesungguhnya telah berkembang dengan pesat karena melalui proses akulturasi budaya lokal. Integrasi pemikiran Islam selalu disesuaikan dengan kekhasan budaya lokal. Dalam konteks ini, dakwah Islamiyah selalu melihat lingkungan sosial budaya dengan kacamata kearifan, kemampuan adaptasi ini merupakan kecerdasan sosial, intelektual, dan spiritual yang dimiliki oleh para ulama dahulu yang bertugas menyebarkan agama Islam. Bukti-bukti seni budaya Islam Nusantara telah merefleksikan bagaimana Islam sebagai ajaran samawi dan pranata keagamaan, disebarkan dan disosialisasikan di Nusantara. Sosialisasi tersebut telah menggunakan cara-cara damai dan memanfaatkan sumber daya kultur lokal sebagai media komunikasi yang efektif.
  1. Budaya Media
Salah satu pengertian budaya media adalah suatu kondisi proses kebudayaan di mana dialektika dari berbagai unsur budaya dalam membentuk sosok mapan sementara dari suatu kebudayaan melibatkan banyak interaksi media. Artinya : Kebudayaan tidaklah merupakan produk akhir yang mantap selama-lamanya. Ia senantiasa dibentuk dalam kondisi tesis-antitesis antara berbagai unsur budaya.
Dalam masyarakat tradisional (dengan penyangga ekonomi pertanian) istilah ‘budaya media’ punya arti tersendiri. Masyarakat etnik dengan latar pertanian tradisi pada perkembangan dialektiknya mencapai ‘sosok budaya ‘ (sistem pertanian, kekerabatan,sistem budaya) melalui wahana media yang erat dengan ritual/upacara. Upacara-upacara tersebut mempunyai makna yang khas sebagai ‘media’ karena berfungsi menyampaikan informasi.
Budaya media bisa ditemukan dalam bentuk images, suara dan tontonan yang memproduksi struktur kehidupan seharihari, mendominasi waktu luang seseorang, membentuk pandangan politik dan prilaku sosial juga menyediakan material bagi bahan pembentukan identitas. Budaya media merupakan sarana konstruksi seseorang akan kesadaran kelas,etnik, ras, kebangsaan seksuality juga istilah kita dan mereka. Budaya mediaadalah industri kebudayaan, diorganisasikan dalam model produksi massa yang digolongkan kepada type-type atau genre, dengan formula, kode-kode dan aturantertentu (Kellner, 2003:1). Budaya media terkandung dalam film, tiap tontonan yang disajikan tv nasional maupun tv berbayar internasional, radio, musik juga bentuk-bentuk budaya media lainnya.
Budaya Media merupakan medan berlangsungnya kontes reproduksiideologi atau hanya sekedar makna dan penanamannya kepada khalayak, jadi bukan hanya sebuah instrumen dominasi (Kellner, 2003:102). Yang inginditemukan pada pengkajian kritis akan sebuah budaya media adalah ideologi yangtertanam di dalamnya dengan melihat konteks sosial masyarakat yang luas danterbagi atas kekuatan-kekuatan tertentu. Ada kelompok dominan yang selalu berhasil menggiring opini karena mereka mayoritas dan memiliki sumber daya, juga kelompok lainnya yang berjuang dengan ideologi mereka termasuk kelompok resistensi yang mencoba melawan kekuatan dominasi.
  1. Budaya Rakyat (Folklore)
Folklore sering diidentikkan dengan tradisi dan kesenian yang berkembang pada zaman sejarah dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Di dalam masyarakat Indonesia, setiap daerah, kelompok, etnis, suku, bangsa, golongan agama masing-masing telah mengembangkan folklornya sendiri-sendiri sehingga di Indonesia terdapat aneka ragam folklore. Folklor ialah kebudayaan manusia (kolektif) yang diwariskan secara turun-temurun, baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat.Dapat juga diartikan Folklor adalah adat-istiadat tradisonal dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, dan tidak dibukukan merupakan kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan turun menurun. Kata folklor merupakan pengindonesiaan dari bahasa Inggris. Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain, berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang telah mereka akui sebagai milik bersama. Selain itu, yang paling penting adalah bahwa mereka memiliki kesadaran akan identitas kelompok mereka sendiri. Kata lore merupakan tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Dengan demikian, pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
  1. Ciri-ciri folklore
Agar dapat membedakan antara folklor dengan kebudayaan lainnya, harus diketahui ciri-ciri utama folklor. Folklor memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
(a) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
(b) Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
(c) Berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan penyebarannya secara lisan sehingga folklor mudah mengalami perubahan. Akan tetapi, bentuk dasarnya tetap bertahan.
(d) Bersifat anonim, artinya pembuatnya sudah tidak diketahui lagi orangnya.
(e) Biasanya mempunyai bentuk berpola. Kata-kata pembukanya misalnya. Menurut sahibil hikayat (menurut yang empunya cerita) atau dalam bahasa Jawa misalnya dimulai dengan kalimat anuju sawijing dina (pada suatu hari).


(f) Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat misalnya berguna sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan cerminan keinginan terpendam.
(g) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
(h) Menjadi milik bersama (colective) dari masyarakat tertentu.
(i) Pada umumnya bersifat lugu atau polos sehingga seringkali kelihatannya kasar atau terlalu sopan. Hal itu disebabkan banyak folklor merupakan proyeksi (cerminan) emosi manusia yang jujur.
  1. Jenis-jenis Folklor
Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor Amerika Serikat, membagi folklor ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
a.       Folklor Lisan
Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang meliputi sebagai berikut:
(1) bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis;
(2) ungkapan tradisional seperti peribahasa dan sindiran;
(3) pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki;
(4) sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair;
(5) cerita prosa rakyat, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale), seperti Malin Kundang dari Sumatra Barat, Sangkuriang dari Jawa Barat, Roro Jonggrang dari Jawa Tengah, dan Jaya Prana serta Layonsari dari Bali;
(6) nyanyian rakyat, seperti “Jali-Jali” dari Betawi.
  1. Budaya Elite
Pengertian kebudayaan elite menyangkut pengetahuan, model-model, skema-skema, pola pikir (kognisi), blueprint, dan nilai-nilai yang membentuk perilaku manusia dalam suatu masyarakat/ komunitas.
  1. Budaya Populer (Popular Culture)
Istilah “budaya pop“ (popular culture) dalam bahasa sepanyol dan portugis secara harfiah berarti “kebudayaan dari rakyat” (de la gente , del pueblo ; da gente , de povo ). Pop , dalam pengertian ini , tidak berarti tersebar luas , arus utama , dominan atau secara komersial sukses. Dalam bahasa dan kebudayaan Latin kata ini lebih banyak mengacu pada ide bahwa kebudayaan berkembang dari kreatifitas orang kebanyakan. Budaya pop berasal dari rakyat ; budaya pop bukan diberikan kepada mereka. Perspektif ini menjebol pembedaan antara produsen dan konsumen artifak budaya , antara industri kebudayaan dan konteks penerimaan . Kita semua memproduksi budaya pop . Membangun kebudayaan pop merupakan pelaksanaan kekuasaan budaya .
Teoretikus kajian budaya John Fiske (1989) menjelaskan hubungan antar budaya pop dan kekuasaan budaya ketika dia membahas bagaimana artifak-artifak yang mencakup mulai dari blue jeans hingga Madonna diintrepatisikan bermacam-macam dan digunakan secara taktis oleh para pencintanya lewat cara-cara yang sesuai dengan kepentingan mereka. Tetapi Fiske membawa masalah ini satu langkah lebih lanjut yang kontroversial. Dia berargumen bahwa budaya pop tak pernah dominan karena “budaya pop selalu terbentuk dalam hubungan dengan –dan tak pernah sebagai bagian dari-kekuatan-kekuatan yang mendominasi” (hlm. 43).
Proses membuat budaya, menurut Fiske, merupakan perjuangan kelas. Bertentangan dengan kritik yang sering diajukan orang bahwa budaya pop tak lain dari –eksoploitasi komersial yang kapitalistik atau “budaya massa”, Fiske berpendapat bahwa pop tercipta sebagai hasil perlawanan terhadap dan pengelakan dari kekuatan-kekuatan ideologis dan budaya dominan. “kesenangan –kesenangan pop pasti selalu merupakan kesenangan-kesenangan kaum tertindas; kesenangan-kesenangan itu pasti mengandung unsur-unsur oposisi, mengelak, skandal, menghina, vulgar, dan menentang. Kesenangan-kesenangan yang ditawarkan oleh konfromitas ideologis sifatnya patuh dan hegemonis; dan jelas bukanlah kesenangan pop dan bertentangan dengannya” (hlm.127)
Budaya populer merupakan bentuk budaya yang lebih mengedepankan sisi pupularitas dan kedangkalan makna atau nilai-nilai. Menurut Ray B. Brownie budaya populer adalah budaya yang ada di dunia ini, disekeliling mita yang meliputi sikap kita, perilaku, tindakan, makanan, pakaian, bangunan, jalan perjalanan, hiburan, olah raga, politik, aktivitas serta bentuk dan cara mengontrolnya. Misalnya HP, jaringan sosial dan lain-lain.
Budaya ini lahir karena adanya hemegoni media masa dalam ruang-ruang budaya publik. Budaya populer berkembang diluar control budaya tinggi. Ide-ide budaya populer lahir dari segala budaya baik budaya rendah ataupun budaya tinggi.
Jadi, budaya pop memberdayakan. Media massa menyumbang pada proses itu dengan mendistribusikan sumber-sumber budaya kepada individu yang tertindas dan kelompok-kelompok bawah untuk kemudian oleh mereka demi mengembangkan taktik-taktik perlawanan terhadap strategi-strategi pengepungan hegemonial. Salah satu contoh paling tajam mengenai hal ini yang dikemukakan Fiske adalah bagaimana orang-orang muda pribumi Australia (aborigin) yang menonton film-film koboi TV Amerika bersimpati pada orang-orang Indian dan “menyemangati mereka ketika mereka menyerang kereta wagon atau rumah, dan membunuh orang-orang lelaki putih membawa lari perempuan-perempuan kulit putih” (hlm. 25)
1.      Kelahiran Budaya Populer
Budaya populer (sering juga dikenal sebagai budaya pop) merupakan kumpulan gagasan-gagasan, perspektif-perspektif, sikap-sikap, dan fenomena-fenomena lain yang dianggap sebagai sebuah kesepakatan atau konsensus informal dalam sebuah kebudayaan arus utama pada akhir abad kedua puluh hingga abad kedua puluh satu. Budaya popuper ini banyak dipengaruhi oleh media massa dan ia mempengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari. Istilah “budaya populer” sendiri berasal dari abad ke sembilan belas, yang penggunaan awalnya merujuk kepada pendidikan dan kebudayaan dari kelas-kelas masyarakat yang lebih rendah. Istilah tersebut kemudian mengandung arti sebuah kebudayaan dari kelas-kelas masyarakat yang lebih rendah, yang berbeda dari dan bertentangan dengan “pendidikan yang sebenarnya” yang ada pada akhir abad tersebut. Makna istilah tersebut saat ini, yaitu budaya konsumsi massa, secara khusus berasal dari Amerika Serikat, yang muncul pada akhir perang dunia kedua. Sedangkan istilah yang lebih singkat “pop culture” muncul pada tahun 1960-an. Istilah ini juga sering disebut sebagai budaya massa dan sering dikontraskan dengan budaya tinggi (misalnya, musik klasik, lukisan bermutu, novel sastra, dan yang sejenis lainnya).
Menurut Dominic Strinati, budaya populer atau budaya massa berkembang, terutama sejak dasawarsa 1920-an dan 1930-an, bisa dipandang sebagai salah satu sumber historis dari tema-tema maupun perspektif-perspektif yang berkenaan dengan budaya populer. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya sinema dan radio, produksi massal dan konsumsi kebudayaan, bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah negara Barat. Budaya populer pertama kali dipersoalkan oleh Mazhab Frankfurt. Mazhab ini didirikan pada tahun 1923. Para pendirinya pada umumnya merupakan para intelektual Yahudi, bangsa Jerman sayap kiri yang berasal dari kelas atas dan menengah masyarakat Jerman. Fungsi mazhab ini adalah untuk pengembangan teori dan penelitian kritis. Kegiatan ini melibatkan karya intelektual yang bertujuan mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi sosial yang melatarbelakangi lahirnya masyarakat kapitalis pada masa itu maupun kerangka-kerangka ideologis umum untuk membangun sebuah kritik teoritis terhadap kapitalisme modern. Dari sekian banyak kaum intelektual menonjol yang kadang-kadang dikaitkan dengan mazhab tersebut, di antaranya yang paling penting adalah Adorno (1903-1970), Horkheimer (1895-1973) dan Marcuse. Budaya populer diangkat menjadi persoalan dalam mazhab ini karena budaya populer bertentangan dengan semangat pencerahan, misalnya: individu melebur dalam massa, dan rasionalitas dalam kenikmatan. Mazhab ini melihat massa sebagai yang dibuat bodoh oleh “industri budaya” kapitalis
.
2.      Karakteristik Budaya Populer
a)      Relativisme
Budaya populer merelatifkan segala sesuatu sehingga tidak ada yang mutlak benar maupun mutlak salah, termasuk juga tidak ada batasan apapun yang mutlak, misalnya: batasan antara budaya tinggi dan budaya rendah (tidak ada standar mutlak dalam bidang seni dan moralitas.).
b)      Pragmatisme
Budaya populer menerima apa saja yang bermanfaat tanpa memperdulikan benar atau salah hal yang diterima tersebut. Semua hal diukur dari hasilnya atau manfaatnya, bukan dari benar atau salahnya. Hal ini sesuai dengan dampak budaya populer yang mendorong orang-orang untuk malas berpikir kritis sebagai akibat dari dampak budaya hiburan yang ditawarkannya. Kita dapat melihat kecenderungan ini dari semakin banyaknya diterbitkan buku-buku yang bersifat pragmatis praktis (buku-buku mengenai how to atau buku-buku self-help) atau majalah-majalah yang berisi tips-tips praktis mengenai berbagai hal praktis.
c)      Sekulerisme
Budaya populer mendorong penyebarluasan sekularisme sehingga agama tidak lagi begitu dipentingkan karena agama tidak relevan dan tidak menjawab kebutuhan hidup manusia pada masa ini. Hal yang terutama adalah hidup hanya untuk saat ini (here and now), tanpa harus memikirkan masa lalu dan masa depan.
d)     Hedonisme
Budaya populer lebih banyak berfokus kepada emosi dan pemuasannya daripada intelek. Yang harus menjadi tujuan hidup adalah bersenang-senang dan menikmati hidup, sehingga memuaskan segala keinginan hati dan hawa nafsu. Hal seperti ini menyebabkan munculnya budaya hasrat yang mengikis budaya malu. Para artis dengan mudah mempertontonkan auratnya sebagai bahan tontonan. Seks yang kudus dan hanya boleh dilakukan dalam konteks pernikahan dipertontonkan secara ‘murahan’ dalam film-film dengan tujuan untuk menghibur. Bahkan bisnis yang berbau pornografi merupakan sebuah bisnis yang mendapatkan penghasilan yang besar. Diperkirakan sekitar 12, 7 milyar dolar Amerika dihasilkan oleh industri hiburan dewasa yang berbau pornografi (termasuk di dalamnya majalah playboy, penthouse, mainan seks (sex toy), dan industri pornografi di internet). Banyak industri yang menjadikan seks sebagai obat mujarab bagi sukses industri mereka, misalnya: majalah bisnis atau majalah popular yang gambar sampulnya adalah wanita telanjang, sebuah pameran mobil mewah yang pemandunya adalah seorang promo-girl yang seksi, sebuah iklan kopi yang presenternya seorang model-girl yang aduhai. Hal-hal ini merupakan salah satu strategi visual yang sering digunakan untuk memberikan provokasi dan efek-efek psikologis yang instan, yang biasanya berkaitan dengan gejolak hasrat dan libido.
e)      Materialisme
Budaya populer semakin mendorong paham materialisme yang sudah banyak dipegang oleh orang-orang modern sehingga manusia semakin memuja kekayaan materi, dan segala sesuatu diukur berdasarkan hal itu. Budaya populer atau budaya McWorld sebenarnya menawarkan budaya pemujaan uang, hal ini dapat kita lihat dengan larisnya buku-buku self-help yang membahas mengenai bagaimana menjadi orang sukses dan kaya.
f)       Popularitas
Budaya populer mempengaruhi banyak orang dari setiap sub-budaya, tanpa dibatasi latar belakang etnik, keagamaan, status sosial, usia, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Budaya populer mempengaruhi hampir semua orang, khususnya orang-orang muda dan remaja, hampir di semua bagian dunia, khususnya di negara-negara yang berkembang dan negara-negara maju.
g)      Kontemporer
Budaya populer merupakan sebuah kebudayaan yang menawarkan nilai-nilai yang bersifat sementara, kontemporer, tidak stabil, yang terus berubah dan berganti (sesuai tuntutan pasar dan arus zaman). Hal ini dapat dilihat dari lagu-lagu pop yang beredar, termasuk lagu-lagu pop rohani yang terus berubah dan berganti.






h)      Kedangkalan
Kedangkalan (disebut juga banalisme) ini dapat dilihat misalnya dengan muncul dan berkembangnya teknologi memberikan kemudahan hidup, tetapi manusia menjadi kehilangan makna hidup (karena kemudahan tersebut), pertemanan dalam Friendster maupun Facebook adalah pertemanan yang semu dan hanya sebatas ngobrol (chatting), tanpa dapat menangis dan berjuang bersama sebagaimana layaknya seorang sahabat yang sesungguhnya. Kedangkalan atau banalisme ini juga terlihat dari semakin banyak orang yang tidak mau berpikir, merenung, berefleksi, dan bersikap kritis. Sifat-sifat seperti keseriusan, autentisitas, realisme, kedalaman intelektual, dan narasi yang kuat cenderung diabaikan. Hal ini menimbulkan kecenderungan bahan atau budaya yang buruk akan menyingkirkan bahan atau budaya yang baik, karena lebih mudah dipahami dan dinikmati. Akan muncul generasi yang ‘tidak mau pakai otak secara maksimal’.
Kedangkalan juga dapat dilihat dalam seni, misalnya: koor gereja yang suci yang dulu hanya diperdengarkan di katedral-katedral, sekarang dapat disimpan di dalam bentuk pita rekaman yang dibunyikan kembali di kamar tidur sebagai lagu pengantar tidur. Demikian juga lukisan unik yang dahulu direnungkan secara khimat dan devosional sekarang dapat diperbanyak secara mekanis menjadi foto-foto yang dapat digantung di dinding mana pun. Kita dapat melihat contoh-contoh lainnya seperti koran yang dulu penuh dengan berita luar negeri dan dunia, sekarang banyak diisi dengan gosip-gosip mengenai selebritis, mengenai tren pakaian wanita muda, dapat hal-hal dangkal lainnya. Televisi juga telah menggantikan drama-drama dan film-film yang berkualitas tinggi dengan acara masak-memasak, opera sabun dan program-program “gaya hidup” yang lain.
i)        Hibrid
Sesuai dengan tujuan teknologi, yaitu mempermudah hidup, muncullah sifat hibrid, yang memadukan semua kemudahan yang ada dalam sebuah produk, misalnya: telepon seluler yang sekaligus berfungsi sebagai media internet, alarm, jam, kalkulator, video, dan kamera; demikian juga ada restoran yang sekaligus menjadi tempat baca dan perpustakaan bahkan outlet pakaian.




j)        Penyeragaman Rasa
Hampir di setiap tempat di seluruh penjuru dunia, monokultur Amerika terlihat semakin mendominasi. Budaya tunggal semakin berkembang, keragaman bergeser ke keseragaman. Penyeragaman rasa ini baik mencakup konsumsi barang-barang fiskal, non-fiskal sampai dengan ilmu pengetahuan. Keseragaman ini dapat dilihat dari contoh seperti: makanan cepat saji (fast food), minuman ringan (soft drink), dan celana jeans yang dapat ditemukan di negera manapun. Keseragaman ini juga dapat dilihat dari hilangnya oleh-oleh khas dari suatu daerah, misalnya: empek-empek Palembang dapat ditemukan di daerah lain selain Palembang seperti Jakarta, Medan dan Lampung
k)      Budaya Hiburan
Budaya hiburan merupakan ciri yang utama dari budaya populer di mana segala sesuatu harus bersifat menghibur. Pendidikan harus menghibur supaya tidak membosankan, maka muncullah edutainment. Olah raga harus menghibur, maka muncullah sportainment. Informasi dan berita juga harus menghibur, maka muncullah infotainment. Bahkan muncul juga religiotainment, agama sebagai sebuah hiburan, akibat perkawinan agama dan budaya populer. Hal ini dapat dilihat sangat jelas khususnya ketika mendekati hari-hari raya keagamaan tertentu. Bahkan kotbah dan ibadah harus menghibur jemaat supaya jemaat merasa betah. Bisnis hiburan merupakan bisnis yang menjanjikan pada masa seperti saat ini. Hal ini dapat dilihat dari contoh taman hiburan Disney di seluruh dunia yang memperoleh pendapatan 3,3 milyar dolar AS, sementara pendapatan Disney per tahun adalah 7,5 milyat dolar AS, dengan pendapatan dari film 3,1 milyar dolar AS dan produk-produk konsumennya (dihubungkan dengan taman hiburan dan film) memperoleh pendapatan 1,1 milyar dolar AS.
l)        Budaya Konsumerisme
Budaya populer juga berkaitan erat dengan budaya konsumerisme, yaitu sebuah masyarakat yang senantiasa merasa kurang dan tidak puas secara terus menerus, sebuah masyarakat konsumtif dan konsumeris, yang membeli bukan berdasarkan kebutuhan, namun keinginan, bahkan gengsi. Semua yang kita miliki hanya membuat kita semakin banyak “membutuhkan,” dan semakin banyak yang kita miliki semakin banyak kebutuhan kita untuk melindungi apa yang sudah kita miliki. Misalnya, komputer “membutuhkan” perangkat lunak, yang “membutuhkan” kapasitas memori yang lebih besar, yang “membutuhkan” flash disk dan hal-hal lain yang tidak berhenti berkembang. Ketika kita sudah memiliki memori yang besar, kita ingin memori yang lebih besar lagi supaya komputer kita dapat bekerja lebih cepat. Barang-barang tersebut memperbudak manusia sepanjang hidupnya agar mampu mendapatkannya. Kemudian ada saatnya seseorang mengeluh kalau dia tidak lagi dapat menikmati “miliknya” yang dirasakannya malah memilikinya dan tidak lagi terasa sebagai miliknya. Industri budaya massa bersentuhan dengan kesalahan dan bukan dengan kebenaran, dengan kebutuhan-kebutuhan dan solusi-solusi palsu dan bukan dengan kebutuhan-kebutuhan dan solusi-solusi riil. Bahkan kedangkalan yang disebabkan budaya populer dan budaya massa membuat kita tidak dapat membedakan dengan jelas manakah kebutuhan semu dan kebutuhan asli. Misalnya: apakah mesin cuci merupakan kebutuhan semu atau kebutuhan asli?
Hal tersebut juga disebabkan oleh iklan yang semakin berkembang di zaman ini dengan tujuan menciptakan rasa ingin (want), walaupun sesuatu yang diiklankan itu mungkin tidak dibutuhkan (need). Misalnya: banyak orang muda yang membeli telepon seluler blackberry yang mahal harganya hanya karena trend, bukan karena kebutuhan yang mendesak karena pekerjaannya menuntut perlunya pemakaian telepon selular seperti itu. Hal yang serupa juga dapat dilihat dari maraknya penggunaan facebook di kalangan remaja dan orang muda saat ini. Sebuah benda juga dibeli bukan lagi karena kegunaannya tetapi karena trend, bahkan gengsi (membelikan status sosial dan bahkan rasa penerimaan diantara teman-teman yang juga memakai benda yang sama). Maka semakin banyak iklan produk sebuah barang yang memakai ikon artis atau bintang terkenal, bukan penjelasan deskriptif persuasif mengenai kegunaan barang itu.
Thorstein Veblen, seorang sosiolog Amerika, dalam bukunya yang berjudul The Theory of Leisure Class (terbit pertama kali pada 1899), mengidentifikasi kelas borjuis baru yang punya banyak waktu luang di Amerika. Mereka menggunakan konsumsi untuk mendefinisikan diri dan status mereka. Alih-alih menggunakan cara-cara tradisional untuk mengartikulasikan status–misalnya dengan kerja dan jabatan,–mereka mengartikulasikan status melalui apa yang disebut Veblen sebagai ‘konsumsi yang menyolok mata.’ Identitas individu diberikan oleh produk-produk bermerek dan bergantung kepada apa yang dipakai, sehingga manusia menjadi hamba materi.
Konsumerisme muncul pada akhir 1950-an dan awal 1960-an – momen ‘konsumsi massa’ – hakikat konsumsi berubah secara mendasar. Pada periode ini, untuk pertama kali terdapat kemakmuran relatif yang memadai bagi para pekerja untuk mengkonsumsi berdasarkan keinginan, bukan berdasarkan kebutuhan, misalnya: membeli beberapa mobil,dan liburan ke luar negeri. Selain itu, periode ini menandai munculnya para pekerja yang menggunakan pola-pola konsumsi untuk mengartikulasikan rasa identitas. Konsumerisme ini menawarkan janji bahwa konsumsi adalah jawaban bagi semua problem kita; konsumsi akan membuat kita utuh lagi; konsumsi akan membuat kita penuh kembali; konsumsi akan membuat kita lengkap lagi; konsumsi akan mengembalikan kita pada kondisi ‘imajiner’ yang diliputi kebahagiaan.
Maka berbelanja sudah menjadi sebuah gaya hidup dan budaya populer. Di Inggris dan Amerika, selain menonton televisi, berbelanja merupakan aktivitas pengisi waktu luang yang paling populer. Maka pada zaman ini menjamur banyak mal-mal, restoran, bioskop, persewaan atau penjualan video (VCD, DVD, dll), tempat makan cepat saji, tempat-tempat hiburan, butik, dan sebagainya. Walaupun gaya hidup berbelanja ini bagi beberapa orang muda berarti berkumpul di pusat perbelanjaan lokal tanpa membeli apa yang sedang dijual, melainkan hanya menggunakan ruang publik mal, hanya untuk melihat-lihat atau dilihat-lihat. Di sisi lain, para produksen juga berusaha menciptakan barang yang semakin canggih (makin cepat, makin keren, dll), misalnya komputer yang semakin canggih, sehingga konsumer semakin merasa komputer yang dimilikinya semakin lambat dan ketinggalan zaman, dan ingin membeli yang baru. Hal tersebut mendorong para produsen melihat semua manusia sebagai alat untuk mencapai sasaran mereka. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua dijadikan objek produk atau konsumen. Hal ini dapat dilihat dalam contoh boneka Barbie. Mary Roger mengatakan bahwa boneka Barbie merupakan model busana remaja dan lambang fenomena konsumerisasi anak-anak, sebuah proses transformasi anak-anak menjadi konsumen.
Ideologi konsumerisme, yaitu sugesti bahwa makna kehidupan kita harus kita temukan pada apa yang kita konsumsi, bukan pada apa yang kita hasilkan, telah merasuki anak-anak hingga orang dewasa. Mungkin inilah satu satu penyebab mengapa tidak banyak inovasi atau penemuan dalam zaman ini seperti penemuan-penemuan pada zaman sebelumnya (misalnya: pesawat, komputer, mobil, radio, dan televisi.), yaitu karena mentalitas memakai, bukan menghasilkan. J. I. Packer mengatakan bahwa masyarakat zaman sekarang merupakan masyarakat yang lebih suka mempraktekan dan mempromosikan belanja daripada menabung, kesenangan diri daripada pengembangan diri, dan kesenangan diatas segalanya.
m)    Budaya Instan
Segala sesuatu yang bersifat instan bermunculan, misalnya: mie instan, kopi instan, makanan cepat saji, sampai pendeta instan dan gelar sarjana theologis instan. Budaya ini juga dapat dilihat dari semakin banyak orang ingin menjadi kaya dan terkenal secara instan, sehingga banyak orang berlomba-lomba menjadi artis, dengan mengikuti audisi berbagai tawaran seperti Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, dan Kontes Dangdut Indonesia (KDI).
n)      Budaya Massa
Karena pengaruh budaya populer, individu melebur ke dalam massa, rasionalitas melebur ke dalam kenikmatan. Hal ini disebabkan karena segala cara dipakai oleh para produsen untuk mencari pasar baru, mengembangkan pasar yang ada atau paling tidak mempertahankan pasar yang sudah ada sejauh memberikan keuntungan dan memasarkan produk mereka semaksimal mungkin. Sifat kapitalisme ini membawa masyarakat menjadi massa, artinya masyarakat dilebur dari batas-batas tradisionalnya menjadi satu massif konsumsi. Maka muncullah berbagai produk yang diproduksi secara massa yang sering mengabaikan kualitas produknya.
Budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan dari khalayak konsumen massa. Budaya massa ini berkembang sebagai akibat dari kemudahan-kemudahan reproduksi yang diberikan oleh teknologi seperti percetakan, fotografi, perekaman suara, dan sebagainya. Akibatnya musik dan seni tidak lagi menjadi objek pengalaman estetis, melainkan menjadi barang dagangan yang wataknya ditentukan oleh kebutuhan pasar.
o)      Budaya Visual
Budaya populer juga erat berkaitan dengan budaya visual yang juga sering disebut sebagai budaya gambar atau budaya figural. Oleh sebab itu, pada zaman sekarang kita melihat orang tidak begitu suka membaca seperti pada zaman modern (budaya diskursif/kata). Pada zaman sekarang orang lebih suka melihat gambar, itulah sebabnya industri film, animasi dan kartun serta komik berkembang pesat pada zaman ini.
p)      Budaya Ikon
Budaya ikon erat kaitannya dengan budaya visual. Muncul banyak ikon budaya yang berupa manusia sebagai Madonna, Elvis Presley, Marlyn Monroe, Michael Jackson, dan sebagainya; maupun yang berupa artefak seperti Patung Liberty, Menara Eiffel, dan sebagainya, termasuk juga ikon merek seperti Christian Dior, Gucci, Rolex, Blackberry, Apple, Ferrari, Mercedes, dan sebagainya.
q)      Budaya Gaya
Budaya visual juga telah menghasilkan budaya gaya, di mana tampilan atau gaya lebih dipentingkan daripada esensi, substansi, dan makna. Maka muncul istilah “Aku bergaya maka aku ada.” Maka pada budaya ini, penampilan (packaging) seseorang atau sebuah barang (branding) sangat dipentingkan.
r)       Hiperealitas
Hiperealitas (hyper-reality) atau realitas yang semu (virtual reality), telah menghapuskan perbedaan antara yang nyata dan yang semu/imajiner, bahkan menggantikan realitas yang asli. Hiperealitas menjadi sebuah kondisi baru di mana ketegangan lama antara realitas dan ilusi, antara realitas sebagaimana adanya dan realitas sebagaimana seharusnya menjadi hilang. Menjadi hiper berarti menjadi cair, bukan melampaui atau memisahkan, opisi lama. Ketika garis batas antara yang nyata dan yang imajiner terkikis, realitas tidak lagi diperiksa, untuk membenarkan dirinya sendiri. Realitas ini lebih “nyata daripada yang nyata” karena telah menjadi satu-satunya eksistensi. Realitas semu ini dapat dilihat pada permainan tomagochi atau hewan peliharaan semu (virtual pet), penggunaan stimulator (untuk permainan, untuk latihan mengemudikan pesawat dan mobil), permainan video, dan sebagainya.
Menurut seorang kritikus media, Mark Crispin Miller, tujuan televisi adalah membuat anda tetap menatapnya, sehingga media itu dapat bergerak “mengotakkan” para pemirsa, di dalam atau di luar rumah, menggantikan realitas mereka dengan realitas televisi. Maka dunia realitas yang semu seperti televisi, film, komik, dan yang sejenisnya akan mengimbangi, bahkan mengambil alih dunia realitas yang nyata. Gambar-gambar komputer, TV, permainan video, komik, dan yang sejenisnya memberikan rangsangan-rangsangan yang berpotensi dapat menggantikan rangsangan-rangsangan nyata. Dunia yang nyata dengan segala rutinitas (misalnya pekerjaan) terasa membosankan, sehingga manusia memerlukan dunia yang lain sebagai pelarian. Misalnya: kita dapat melihat bahwa semakin banyak orang yang ketika hari libur tiba, mereka pergi kepada tempat-tempat wisata atau hiburan seperti Disney Land atau Dunia Fantasi (untuk mengurangi stress karena pekerjaan atau beban hidup dan rekreasi keluarga misalnya). Bahkan Jenderal Schwarkopf, ahli strategi hebat dalam perang Teluk merayakan kemenangannya dengan mengadakan pesta besar di Disney World.
s)       Hilangnya Batasan-batasan
Budaya popular menolak segala perbedaan dan batasan yang mutlak antara budaya klasik dan budaya salon, antara seni dan hiburan, yang ada antara budaya tinggi dan budaya rendah, iklan dan hiburan, hal yang bermoral dan yang tidak bermoral, yang bermutu dan tidak bermutu, yang baik dan jahat, batasan antara yang nyata dan semu, batasan waktu, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak lagi memiliki arti yang nyata. Perbedaan-perbedaan dan batasan-batasan tersebut ternyata hanya dimanipulasi untuk alasan-alasan pemasaran. Akibatnya, tidak berbeda dengan es krim, burger, dan hal yang lain. Musik dan karya seni yang lain juga dapat ditanggapi sebagai objek sensual oleh para pendengar positif, yang “ketika bereaksi, tidak lagi membedakan apakah reaksi itu kepada Simfoni Ketujuh Beethoven atau kepada sepotong bikini.”
3.      Contoh Budaya Populer 
1. Berbelanja
Di Inggris dan Amerika, selain menonton televisi, berbelanja merupakan aktivitas pengisi waktu luang yang paling populer. Maka pada zaman ini menjamur banyak mal-mal, restoran, bioskop, persewaan atau penjualan video (VCD, DVD, dll), tempat makan cepat saji, tempat-tempat hiburan, butik, dan sebagainya. Walaupun gaya hidup berbelanja ini bagi beberapa orang muda berarti berkumpul di pusat perbelanjaan lokal tanpa membeli apa yang sedang dijual, melainkan hanya menggunakan ruang publik mal, hanya untuk melihat-lihat atau dilihat-lihat. Di sisi lain, para produksen juga berusaha menciptakan barang yang semakin canggih (makin cepat, makin keren, dll)


2. Demam Korea (Korean wave) Demam Korea (Korean wave)
Hal itu diakibatkan karena penyebaran dan pengaruh budaya Korea di Indonesia, terutama melalui produk-produk budaya populer1. Film, drama, musik dan pernak-pernik merupakan contoh dari produk budaya popular. Elemen-elemen budaya populer Korea ini menyebarkan pengaruhnya di negara-negara Asia salah satunya Indonesia. Di Indonesia, penyebaran budaya popular dari negeri gingseng ini dilihat sekitar tahun 2002 dengan tayangnya salah satu ikon budaya popular berbandrol drama seri berjudul „Autumn in My Heart atau „Autumn Tale yang lebih popular dengan judul „Endless Love, ditayangkan stasiun TV Indosiar2. Keberhasilan drama seri Korea tersebut yang dikenal dengan Korean drama (K-drama) diikuti oleh Koean drama lainnya. Tercatat terdapat sekitar 50 judul K-drama tayang di tv swasta Indonesia.
3. Korean Pop (K Pop)
Setelah keberhasilan menguasai pasar Indonesia dengan dramanya, Korea pun mulai menguasai Indonesia dengan tampilan musik Korea. Korean Pop (Musik Pop Korea) disingkat K-pop, adalah jenis musik populer yang berasal dari Korea Selatan. Banyak artis dan kelompok musik pop Korea sudah menembus batas dalam negeri dan populer di mancanegara. Musik pop Korea pra-modern muncul pertama kali pada tahun 1930-an yang dipengaruhi oleh masuknya musik pop Jepang. Tidak hanya budaya pop Jepang, pengaruh musik pop barat mulai menjajah Korea sekitar tahun 1950-an dan 1960-an. Awalnya berkembang musik bergenre “oldies”, kemudiantahun 1970-an, musik rock diperkenalkan dengan pionirnya adalah Cho Yong-pil.
Muncul kemudian genre musik Trot yang dipengaruhi gaya musik enka dari Jepang. Tahun 1992 merupakan awal mula musik pop modern di Korea, yang ditandaidengan kesuksesan grup Seo Taiji and Boys diikuti grup musik lain seperti Panic,dan Deux. Tren musik ini turut melahirkan banyak grup musik dan musisi berkualitaslain hingga sekarang.
Di tahun 2000-an mulai bermunculan artis dengan aliran musik yang berkiblat ke Amerika seperti aliran musik R&B serta Hip-Hop. Mereka adalah MC Mong, 1TYM, Rain, Big Bang yang cukup sukses di Korea dan luar negeri. Selain genre musik sebelumnya bertahan, lahir kembali jenis musik techno memberi nuansa modern.
  1. Budaya Massa
Secara sederhana budaya massa (mass culture) serupa dengan budaya popular dalam basis penggunanya: Masyarakat kebanyakan. Namun, berbeda dengan budaya popular yang tumbuh dari masyarakat sendiri dan digunakan tanpa niatan profit, budaya massa diproduksi lewat teknik-teknik produksi massal industri. Budaya tersebut dipasarkan kepada massa (konsumen) secara komersial. Budaya ini kemudian dikenal pula sebagai budaya komersial yang menyingkirkan budaya-budaya lain yang tidak mampu mencetak uang seperti budaya elit (high culture), budaya rakyat (folk culture) dan budaya popular (popular culture) yang dianggap ketinggalan zaman. Jika budaya elit (high culture), folk culture, dan budaya popular tidak mampu mencetak uang, untuk apa ia dikembangkan dan dipelihara? Demikian retorika kasar para produsen mass culture. Budaya massa adalah suatu budaya yang terus menerus direproduksi dan dikonsumsi oleh suatu kelompok yang mempunyai akibat secara menyeluruh.
Produsen budaya massa melihat para penerima budaya sebagai pasif, lembek, mudah dimanipulasi, mudah dieksploitasi, dan sentimentil. Bertindak selaku agen dari budaya massa ini media massa. Televisi, radio, majalah, surat kabar, dan internet menempati posisi penting selaku agen budaya. Sementara produsen dari budaya massa adalah para pemilik pabrik barang (pakaian, kosmetika, kendaraan) dan jasa (konsultan marketing, event organizer, manajer artis).
Partner utama mass culture adalah mass media. Kemampuan mass media menjangkau khalayak (audiens potensial) secara luas, membuat mass culture sangat mudah dipasarkan. Mass media di masa kini emoh menayangkan high culture, folk culture atau popular culture karena dianggap sudah kurang diminati dan memiliki daya jual yang rendah. Lihatlah konten acara televisi Indonesia lalu hitung berapa banyak yang menampilkan budaya-budaya lokal atau daerah secara periodik.
Hal yang menarik untuk terus ditelusuri adalah bagaimana manifestasi budaya massa dalam keseharian masyarakat Indonesia kini. Diyakini bahwa budaya massa ini telah berkembang jauh dan pesat, menjangkau seluruh wilayah dan lapisan suku-suku bangsa yang mengalami persentuhan dengan teknologi informasi dan pusat perputaran barang dan jasa.


  1. Shopping Mall
Shopping mall disebut oleh Yasraf Amir Piliang sebagai manifestasi budaya massa yang bersifat fantasi.Dalam shopping mall, kegiatan belanja yang semata-mata transaksi jual beli mengalami perubahan. Dalam shopping mall kegiatan belanja berubah fungsi sebagai pengisi waktu senggang (leisure time) atau tempat membolos bagi siswa sekolah yang nakal. Ini dapat kita lihat pada berapa banyak setiap harinya orang-orang berkeliling shopping mall tanpa berbelanja apapun. Terkadang mereka cuma berkeliling, berbincang, atau mengagumi barang-barang produk baru.
Shopping mall memuaskan rasa penasaran manusiawi akan hal baru. Shopping mall terus meremajakan diri lewat sajiannya atas wahana-wahana toko baru, permainan kanak-kanak, serta lingkungan yang semakin nyaman (taman, tempat duduk, AC, dan kebersihan). Jumlah shopping mall ini terus bertambah setiap tahunnya di Indonesia. Di Jakarta terdapat kurang lebih 60 shopping mall yang tersebar di kota-kota madyanya seperti Mall of Indonesia, Tamini Square, Town Square, Mal Kelapa Gading, Kota Casablanca atau Grand Indonesia. Di Sulawesi Selatan sekurangnya 6 mall telah beroperasi seperti Mall Ratu Indah, Makassar Trade Center, Mall Panakukang, Pusat Grosir Butung, Pusat Souvenir Somba Opu, dan Global Trade Center. Bahkan di wilayah Nusa Tenggara Timur, sekurangnya satu mall telah berdiri yaitu Mall Flobamora.
Pada satu sisi, berdirinya mall merupakan upaya dari para pemerintah daerah untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah. Mall terdiri atas beragam diversifikasi usaha seperti bank, toko makanan, toko buku, toko mainan, taman bermain prabayar, bioskop, dan sejenisnya. Tenaga kerja yang direkrut pun cukup banyak, termasuk potensi-potensi yang dibawanya yaitu bergeliatnya kegiatan ekonomi di sekeliling mall seperti rumah kontrakan, kos, angkutan umum, warung makan, dan sebagainya. Namun, dari sisi budaya, mall menjadi agen massalisasi. Produk-produk barang dan jasa yang ditawarkan setiap mall cenderung homogen. Bioskop, sebagai misal, adalah Twenty One yang menjadi milik dari satu perusahaan. Lalu, hampir di setiap mall, department-department store relatif homogen seperti Naga, Matahari, Ramayana, Borobudur, dan sejenisnya. Department-department store tersebut menawarkan produk-produk barang pabrikan yang jenis produknya relatif sama dari satu tempat ke tempat lain. Jadi, pabrik menggunakan agen mereka (department store) untuk memasarkan produk mereka. Maka jadilah produk-produk mereka digunakan secara massal oleh masyarakat. Dari penghujung mall yang ada di Aceh hingga Papua, tawaran produk relatif sama.
Kapitalisasi produk – bahkan manusia – pun berlangsung di mall. Relatif sering terlihat di hampir setiap department store, manusia (umumnya kaum perempuan) dipajang menjajakan produk pabrikan tertentu seperti kosmetik dan pakaian. Layaknya manequin mereka berdiri statis dan bedanya sekadar bisa tersenyum dan menyapa. Selain shopping mall, kini berkembang pula fenomena hypermall, yang berbeda dengan shopping mall yang beraneka agen. Hypermall ditandai satu agen tunggal. Homogennya produk dijual lebih tinggi dalam hypermall. Ia pun seolah memindahkan satu pasar tradisional ke dalam sebuah toko tunggal. Carrefour, Giant, Hypermart, dan sejenisnya kini pun telah berkembang di Indonesia. Barang yang mereka jual, kendati satu agen tunggal, sangat bervariasi dari bahan mentah makanan hingga barang elektronik canggih semisal televisi flat dan laptop. Terkadang kendaraan roda dua dan empat pun dijajakan di sana. Konsumen begitu dimanjakan dengan sifat segala ada, nyaman, cepat, terklasifikasi, seperti disediakan oleh hypermall.
Fenomena hypermall ini mendukung teori penciptaan kebutuhan konsumen oleh produsen barang. Hypermall adalah sekadar agen, barang-barang yang mereka jual berasal dari beragam produsen. Namun, produsen tersebut biasanya tetap. Misalnya untuk odol, merk-merk seperti Pepsodent, Formula, Oral-B, dan sejenisnya adalah pasti ditemukan di setiap hypermall.
Fenomena homogenisasi produk dapat dilihat dalam Carrefour. Carrefour tersebar di Jakarta (25 lokasi), Tangerang (5 lokasi), Bekasi (4 lokasi), Bandung (4 lokasi), Jawa – Bali (18 lokasi), Sumatera (2 lokasi), dan Sulawesi (3 lokasi). Jumlah ini merupakan jumlah yang cukup signifikan mengingat Carrefour termasuk debutan baru di kalangan mall di Indonesia. Group yang didirikan oleh keluarga Fournier and Defforey dari Perancis pada tahun 1959 ini kini berkembang pesat di seluruh penjuru dunia, dan CEO-nya kini dipegang oleh Lars Olofsson.
Berbeda dengan pasar tradisional, interaksi sosial antara penjual dan pembeli di hypermall sepenuhnya ditentukan pengelola. Misalnya, barcode yang ditempelkan di setiap barang adalah harga pasti tanpa bisa ditawar. Negosiasi harga tidak ada antara penjual dan pembeli dan demikian satu aspek interaksi sosial berkurang. Kemasan setiap produk lebih menentukan ketimbang isi, dan ini berbeda dengan pasar tradisional di mana hampir seluruh produk dagangan tidak dikemas (kecuali produk-produk pabrikan). Pembeli sulit memaknai barang akibat pemaknaan disekat kemasan. Pembeli jadi amat bergantung pada informasi yang terkandung di dalam kemasan, dan kalaupun bertanya, paling banter ia akan dilayani oleh tenaga marketing produk bersangkutan yang intinya memperkuat informasi tertoreh di kemasan.
  1. McDonald-ization
Fenomena restoran fast-food juga merupakan bentuk umum budaya massa. Perlu diingat, makanan adalah salah satu komponen material budaya. Restoran yang di Negara asalnya disebut menyediakan junk-food (makanan sampah), di Indonesia justru dimaknai secara baru: high-class. Hampir seluruh kalangan masyarakat (kaya, miskin, tua, muda) menemui pemenuhan kebutuhan sosial mereka di restoran fast-food McDonald, termasuk ke dalamnya Kentucy Fried Chicken, Hoka-hoka Bento, Pizza Hut, dan sejenisnya. Jika ditelusuri mendalam maka penyebaran restoran-restoran fast-food ini di-stir oleh oleh satu perusahaan. Mereka menjalankan manipulasi publik dengan menawarkan kelezatan, kecepatan, dan kenyamanan. McDonald adalah milik Ray Croc yang ia bangun pada tahun 1955. McDonald mengklaim memiliki 30.000 anjungan di seluruh dunia dan seharinya dikunjungi 50.000.000 orang. Bidikan utamanya adalah penjualan produk makanan dan mereka memiliki sentra-sentra anjungan dalam negara-negara dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi dan ada dalam peralihan masyarakat agraris ke industrial.
Homogenisasi budaya merupakan konsekuensi tidak terelakkan dari fenomena McDonald-ization ini. Hamburger, Coca Cola, Fanta, Walls Ice Cream, merupakan beberapa jenis makanan yang dijajakan di McDonald. Di 30.000 anjungan McDonald seluruh dunia, jenis-jenis makanan tersebut dijajakan dalam format dan rasa serupa. Publik tidak dapat menentukan sendiri selera mereka di restoran cepat saji, tetapi dengan dukungan strategi marketing dan maraknya iklan, akhirnya ilusi penentu pun dapat dikondisikan di dalam benak audiens. Ini berbeda tatkala kita memasuki rumah makan Padang yang menyediakan ayam bakar, ayam goreng, ikan panggang, rendang, kikil, dan ragam lainnya yang masing-masing memiliki bumbu spesifik. Selain itu, menu rumah makan Padang sesungguhnya memiliki bahan dasar bumbu dan varietas makanan yang biasa dikonsumsi orang Indonesia sehari-hari. Makanan Padang merupakan folk culture yang beralih menjadi popular culture. Hal yang mirip juga terdapat dalam fenomena tahu gejrot, gado-gado, karedok, ataupun rujak petis.
  1. Televisi
Jika dibandingkan media lain seperti radio dan surat kabar/majalah, maka di Indonesia, televisi satu-satunya media di mana pemirsanya terus meningkat, dan dapat dilihat pada tabel.[2] Pemirsa radio dan surat kabar atau majalah di Indonesia cenderung menurun sejak 2003 hingga 2009. Hanya televisi satu-satunya yang mampu meningkatkan jumlah pemirsa mereka dalam kurung tersebut. Televisi mampu menyajikan hot issue dalam format audio visual. Dalam format ini pemirsa dalam dirambah ranah kognisi dan afeksinya. Dalam konteks televisi ini, budaya massa merambah layar elektronik.
Acara televisi seperti opera sabun dalam wadah sinema elektronik (sinetron), program-program penggalian bakat (new idol), talk-show, dan sejenisnya. Bayangkan, sejumlah program seperti Who wants to be a Millionaire? yang pada tahun 2004 saja telah dijual ke 106 negara, rekaman kompilasi hits The Beatles terjual 12 juta kopi dalam 2 bulan di akhir tahun 2000, atau Elvis Presley yang telah menjual kurang lebih 1 milyar record baik dalam bentuk kaset ataupun CD di seluruh penjuru dunia pada tahun 2005 kendati bintang tersebut telah meninggal dunia sejak 1977.[3]
Hal yang perlu diingat, dalam komoditas budaya yang dijadikan mass culture, audiens (pemirsa) dianggap lembek, tidak kritis, dan mudah dibujuk. Sebab itu, produk-produk mass culture dapat langsung dikonsumsi tanpa melalui filter yang mencukupi. Misalnya, produk-produk sinetron Indonesia yang banyak mengumbar bentakan-bentakan kasar (bullying), penyederhanaan karakter yang cenderung hitam-putih (tidak mendalam), alur cerita yang cenderung berputar-putar dan seolah tidak pernah selesai (episode diperpanjang jika kontrak diperpanjang oleh saluran televisi), termasuk gaya laki-laki yang mewadam hampir setiap hari disajikan. Semua produk tersebut dikonsumsi oleh mayoritas audiens hampir tanpa reserve. Audiens cuma memilih antara tidak menonton lalu berpindah ke saluran televisi lain. Namun, akhirnya mereka pun menemui tayangan-tayangan sejenis dan suka atau tidak suka, harus menikmatinya.






1.      Karakteristik Budaya massa
Budaya massa memiliki beberapa katrakter yaitu sebagai berikut:
a)      Nontradisional, yaitu umumnya komunikasi massa berkaitan erat dengan budaya populer. Misalnya, acara-acara yang ada di televise seperti Indonesian Idol, Penghuni terakhir, dll.
b)      Bersifat merakyat.
c)      Budaya massa juga memproduklsi budaya massa seperti infotainment adalah produk pemberitaan yang diperuntukan kepada massa secara meluas. Semua orang dapat memanfaatkannya sebagai hiburan umum.
d)     Budaya massa sangat berhubungan dengan budaya popular sebagai sumber budaya massa. Contohnya srimulat, ludruk, maupun campursari. Pada mulanya kesenian tradisional ini berkembang di masyarakat tradisional dengan karakter-karakter tradisional, namun ketika kesenian ini dikemas di media massa, maka sentuhan popular mendominasi seluruh kesenian tradisional itubaik kostum, latar, dan sebagainya tidak lagi menjadi konsumsi masyarakat pedesaan namun secara missal menjadi konsumsi semua lapisan masyarakat di pedesaan dan perkotaan.
e)      Budaya massa, terutama yang diproduksi oleh media massa diproduksi dengan menggunakan biaya yang cukup besar, karena itu dana yang besar harus menghasilkan keuntungan untuk kontinuitas budaya massa itu sendiri, karena itu budaya massa diproduksi secara komersial agar tidak saja menjadi jaminan keberlangsungan sebuah kegiatan budaya massa namun juga menghasilkan keuntungan bagi capital yang diinvestasikan pada kegiatan tersebut.
f)       Budaya massa juga diproduksi secara eksklusif menggunakan simbo-simbol kelas sehingga terkesan diperuntukan kepada masyarakat modern yang homogen, terbatas dan tertutup. Syarat utama dari eksklusifitas budqaya massa ini adalah keterbukaan dan ketersediaan terlibat dalam perubahan budaya secara massal.




2.      Contoh Budaya Massa
1. Baju Batik
Dalam buku laporan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles, tentang Jawa yang sudah bersifat kanonik (buku induk), The History of Java, batik diletakkan sebagai bagian dari cara penduduk Jawa memproduksi dan mengenakan pakaian, Ia menjelaskan prinsip cara hidup orang Jawa yang ia sebut ”sederhana”, yang bisa memenuhi sendiri semua kebutuhan domestik lingkungannya (sekampung), termasuk berpakaian dengan batik. Sehingga pekerjaan membatik ini sudahlah lama dibuat dan hingga sekarang masih terus berjalan, sehingga demikian, batik bisa disebut istimewa karena mampu bertahan sebagai subkebudayaan Jawa, meski cenderung dideskripsikan oleh Raffles sebagai budaya yang ”sederhana” dan ”tidak menimbulkan daya tarik bagi orang Eropa”
Dan batik juga telah ditransformasikan bentuknya dalam hal barang apapun, seperti dijadikan jaket, baju, peralatan rumah tangga dan sebagainya, sehingga budaya yang tadinya primitive, menjadi budaya massa.
2. Mesin Uap dan Tenaga Listrik
Sejak ± 1700, dengan ditemukannya mesin uap dan tenaga listrik, hingga 1940an, dianggap sebagai bagian awal perkembangan budaya industri. Masa ini disebut zaman modern. Revolusi industri adalah awal dari cepatnya perkembangan teknologi dalam kehidupan manusia. Perkembangan zaman pencerahan yaitu ilmu pengetahuan dan pandangan rasional di abad-19, tidak hanya ditandai oleh relativitas Einsten dan Psikoanalisa Freud, perkembangan dan penemuan-penemuan teknologi yang belum pernah terjadi telah menyebabkan priode baru: industrialisasi. Awal dimulainya era industrialisasi produksi. Kemudian di abad XX, Frankfurt School, dikenal juga sebagai Neo-Marxis,  menyatakan masyarakat massa dihubungkan (diciptakan) ke suatu masyarakat individualis yang terasing dengan tetap menjaga kesatuan melalui budaya industri yang ditangani kapitalisme. Budaya ini terhasil melalui logika massification of product dan homogenization of taste. Sedikit terkesan sinis, Chaney berpendapat  konsumerisme menjadi pusat perkembangan sosial modernitas. Dia berpendapat, “priode setengah terakhir abad 19 dan dekade pertama abad 20, tema budaya dasar mengenai masyarakat massa abad ke 20 telah terbentuk, terutama keinginan dari orang-orang biasa untuk menginvestasikan sumber daya dalam memburu gaya.” Dan sekarang dengan kecepatan dan kecanggihan teknologi, maka akses pada informasi bisa cepat didapat, pemanfaatan teknologi ini mengakibatkannya Saat ini dianggap sebagai membaurnya antara realitas dan ilusi (melalui bentukan simulasi, yang kemudian disebut hyper realitas), digital mendominasi berbagai citraan atau visual yang hadir.










A.    Kesimpulan
Budaya media adalah suatu kondisi proses kebudayaan di mana dialektika dari berbagai unsur budaya dalam membentuk sosok mapan sementara dari suatu kebudayaan melibatkan banyak interaksi media. Artinya : Kebudayaan tidaklah merupakan produk akhir yang mantap selama-lamanya. Ia senantiasa dibentuk dalam kondisi tesis-antitesis antara berbagai unsur budaya.
Folklor ialah kebudayaan manusia (kolektif) yang diwariskan secara turun-temurun, baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat.
kebudayaan elite menyangkut pengetahuan, model-model, skema-skema, pola pikir (kognisi), blueprint, dan nilai-nilai yang membentuk perilaku manusia dalam suatu masyarakat/ komunitas.
Budaya populer merupakan bentuk budaya yang lebih mengedepankan sisi pupularitas dan kedangkalan makna atau nilai-nilai.
Budaya massa adalah suatu budaya yang terus menerus direproduksi dan dikonsumsi oleh suatu kelompok yang mempunyai akibat secara menyeluruh.






















DAFTAR PUSTAKA


Burton, Graeme. 2012. Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra.
Ibrahim, Idi Subandi. 2005. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam
Masyarakat Komoditas Indonesia Edisi Kedua. Yogyakarta: Jalasutra.
Kellner, Douglas. 2003. Media Culture. London : Rouletdege.
Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media. Yogyakarta: Jalasutra.
Ken Browne. 2006. Introducing Sociology for AS LevelSecond Edition.
Cambridge: Polity Press.
Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Yasraf, Amir Piliang. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamasya melampaui Batas-
batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.
http://tiyaarsyil.blogspot.co.id/2013/05/makalah-budaya-media.html