Selasa, 28 April 2020

Upacara Mengubur Ari-ari

Mantan KA UPTD
Di daerah Jawa yang terdiri dari beberapa provinsi memiliki adat istiadat tersendiri dalam pelaksanaan upacara adat kelahiran, namun secara garis besar upacara mendhem ari-ari (mengubur ari-ari) sering diselenggarakan di Jawa. Masyarakat Jawa menyebut plasenta dengan ari-ari, aruman, embing-embing atau mbingmbing. Di Jawa terdapat kepercayaan bahwa ari-ari yang menyertai kelahiran seorang bayi merupakan saudara bayi tersebut. Sehingga ari-ari tersebut mendapat perawatan yang baik dan harus dijaga agar tidak rusak. Ari-ari tersebut dapat ditanam di tempat yang aman. Ari-ari yang telah dirawat dapat dilarung atau dilabuh di sungai atau di laut, dan dapat pula digantung di luar rumah hingga si anak tumbuh dewasa dan memutuskan untuk dilarung sendiri oleh si anak tersebut.

Tata cara mendhem ari-ari harus menggunakan aturan adat yang berlaku. Dalam melakukan prosesi ini diperlukan beberapa peralatan seperti kendil (periuk yang terbuat dari tanah liat) atau dapat diganti dengan tempurung kelapa atau tabonan kelapa. Tanah digali dengan kedalaman yang cukup dan sesuai ukuran kendil. Sebelum ditanam, kendhil tersebut diberi alas daun senthe dan dibagian alasnya diletakkan beberapa barang yang merupakan syarat. Jenis syarat untuk mendhem ari-ari dari beberapa daerah di Jawa berbeda-beda. Adapun syarat-syarat tersebut sebagai berikut :
  1. Bunga setaman, minyak wangi, kunir bekas alas memotong usus, dan welat (pisau dari kulit bambu) yang akan digunakan untuk memotong usus.
  2. Biji kemiri, jarum, ikan asin, beras merah, kunyit, dan garam.
  3. Pensil, buku, kertas bertuliskan huruf Arab/tulisan Jawa, bagi bayi perempuan disertai empon-empon seperti temu hitam, kunir, dlingo bengle, bawang merah, bawang putih, benang, dan jarum. Sedangkan pada bayi laki-laki disertai dengan uang logam.

Syarat-syarat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kendhil bersama ari-ari. Kendhil ditutup dengan lemper (piring yang terbuat dari tanah liat) yang masih baru. Kemudian dibungkus dengan kain mori yang juga masih baru.

Syarat untuk orang yang menanam ari-ari adalah ayah kandung sang bayi. Semula sang ayah harus
Di daerah Jawa yang terdiri dari beberapa provinsi memiliki adat istiadat tersendiri dalam Upacara Mengubur Ari-ari
mengenakan pakaian tradisi lengkap, yaitu bebedan dan mengenakan belangkon. Namun kebanyakan sekarang sudah tidak mengenakan pakaian adat tersebut, mereka hanya mengenakan belangkon ketika melaksanakan upacara menanam ari-ari tersebut.

Kendhil yang berisi ari-ari dibawa sang ayah menuju tempat penanaman. Kendhil tersebut digendong dan dipayungi. Kendhil dikubur di tempat yang telah ditentukan, yaitu di samping kanan pintu masuk utama. Setelah itu kendhil ditimbun dengan tanah dan diberi pagar sekelilingnya agar terhindar dari gangguan binatang serta ditaburi bunga setaman (bunga mawar, melati, dan kenanga). Di atas tempat penguburan ari-ari tersebut diberi penerangan berupa lampu selama selapan (35 hari).

Dalam upacara mengubur ari-ari terdapat makna yang tersirat, sebagai berikut :
  1. Kertas bertuliskan huruf Arab/huruf Jawa memiliki arti agar si bayi kelak pandai membaca ayat-ayat suci, memiliki kepribadian jawa, dan menguasai beberapa pengetahuan.
  2. Syarat yang berupa benang dan jarum bagi bayi perempuan mengandung harapan agar kelak si bayi tumbuh menjadi wanita yang mengerti dan bertanggung jawab sebagai ibu/istri.
  3. Syarat berupa uang logam bagi bayi laki-laki mengandung harapan agar si bayi kelak dapat mencari nafkah bagi keluarganya kelak setelah dewasa.
  4. Payung mengandung makna agar si bayi kelak menjadi bayi menjadi orang yang luhur.
  5. Kain mori putih mengandung makna bahwa si bayi kelak berhati suci dan bersih.
  6. Kendhil/periuk melambangkan dunia.
  7. Penerangan (pelita) melambangkan sinar yang menerangi kegelapan agar mendapat petunjuk.
  8. Cermin/pengilon mengandung makna magis agar mampu mengusir kedatangan makhluk halus yang jahat.
  9. Air kembang setaman mengandung makna kesucian.

Setelah upacara mendhem ari-ari selesai dilaksanakan, upacara adat selanjutnya adalah brokahan. Brokahan berasal dari bahasa Arab barokah yang berarti mengharap berkah. Brokahan merupakan upacara yang diselenggarakan sebagai rasa syukur atas kelahiran seorang bayi dalam sebuah keluarga. Disamping itu brokahan memiliki tujuan agar sejak saat kelahiran hingga pertubuhan masa bayi selalu mendapatkan keselamatan dan perlindungan Tuhan Yang Maha Esa.

Upacara brokahan dilaksanakan pada waktu sore hari setelah si bayi lahir. Upacara ini merupakan selamatan atau kenduri yang dipimpin oleh dukun beranak, dan dihadiri oleh para kerabat, dan ibu-ibu tetangga terdekat. Selain didoakan, orang yang menghadiri acara brokahan ini pulang membawa makanan khusus (sesajian) yang telah disediakan dalam besek (wadah dari bambu).

Makanan sesajian tersebut terdiri dari minuman dhawet, jangan menir, sekul ambeng (hasil nasi dicampur lauk pauk jeroan), pecel dicampur ayam matang, telur mentah, kembang setaman, kelapa, dan beras. Makanan yang telah matang tersebut dapat diganti dengan bahan makanan yang belum diolah, misalnya bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai hijau, cabai rawit, gula merah, sebungkus teh, sebungkus gula pasir, tempe mentah, garam, beras, minyak goreng, telur mentah, sepotong kelapa, penyedap rasa, atau sesuai dengan kemampuan masing-masing keluarga.

Dalam upacara brokahan terdapat makna atau lambang yang tersirat, antara lain sebagai berikut :

  • Telur mentah melambangkan kekuatan si bayi.
  • Kelapa melambangkan ketahanan fisik sang bayi.
  • Ingkung melambangkan embrio.
  • Gula merah melambangkan hidup yang akan dijalani.
  • Minuman dhawet melambangkan supaya si bayi memiliki kelancaran usaha dalam kehidupannya.